KELEDAI MANIS (Sejarah)

1 0 0
                                    


Oleh: Laila Nur Fitria Dari

Aku, Si Keledai Manis, yang nadinya hampir teriris karena kehinaan dari para serdadu tak berkumis. Sebuah mainan elegan bagi para penjagal kaum seberang. Mereka yang pada mulanya datang sebagai saudara. Kini entah ke mana janji itu semua. Hanya kebiadaban yang mereka berikan, hingga sebilah pedang mereka hunuskan tanpa berperasaan.

Para serdadu dari Negeri Matahari Terbit itu dengan beringas mengambil saudara-saudaraku. Menghancurkan tempat tinggal dan ladang mutiara kami. Hingga membuat kami terbuang ke dalam hutan ini. Tidak lagi hewan buas yang kami takuti, tetapi para serdadu Nippon-lah yang membuat kami berlari.

Ketika Abangku Soeri tengah berkelana mencari hewan untuk dijadikan santapan. Tiada tersangka pasukan Jepang datang berkunjung pada gubuk reot kami. Waktu itu hanya ada aku dan juga ibu. Bergetar hati kami ketika para serdadu itu tanpa permisi merusak pintu rumah dari potongan kayu jati. Entah apa yang mereka katakan, tidak dapat aku ataupun ibu memahami. Tetapi, secara tiba-tiba mereka menyeretku pergi. Membiarkan ibuku menangis darah seorang diri.

“Lepaskan saya!” teriakku pada para serdadu bejat itu, tetapi tiada dari mereka yang mau menurutiku. Sebaliknya, dengan beringas mereka mengikatku lalu memukuliku dengan tongkat-tongkat besinya.

“Berhenti! Saya mohon hentikan!” teriakku sambil menangis.

Sakit, itulah yang kurasakan saat besi-besi hitam itu dengan keras menyapa kulitku. Tangan mereka yang kotor menyentuh wajahku. Dengan senyum menjijikkan itu mereka menyiksaku.

Tangisan darah yang aku alami masa itu. Sungguh perih dan pedih yang terasa setiap waktu. Tidak sekalipun serdadu Jepang itu memberiku makan. Hanya air sisa yang mereka berikan. Terkadang, saat perut sudah benar-benar merasa lapar tangan dan pikiran seakan hilang kendalian. Jika ada kecoak berdatangan, dengan sigap aku mengambil mereka, memakannya mentah-mentah berharap segera menemui ajal. Tak hanya kegilaan itu, terkadang aku menyayat diriku dengan bambu-bambu kering di jalan. Tidak ada tujuan lain kecuali kematian.

Pernah suatu hari bandaku demam. Mungkin karena iritasi dari luka yang aku ciptakan. Beberapa dari serdadu itu memandangku dengan iba. Terbesit rasa kasihan pada kedua matanya. Salah satu dari mereka menghampiriku, memberiku daun hancur dan roti kering. Dengan pelan ia mempraktikkan cara menggunakan daun itu pada luka-lukaku.

“Apa maksud bedebah ini? Tak sudikah ia kehilangan mainan sepertiku?” batinku.

Dia yang melihatku hanya diam dengan pelan menghampiriku. Begitu lembut ia mengoleskan tumbukan daun itu padaku.

“Aw,” rintihku.

Dengan lembut serdadu itu berbicara padaku. Walau aku tidak tahu apa yang ia maksudkan, tetapi aku merasa ada kesempatan bagiku untuk kembali pada pelukan pertiwi. Berharap saudara setanah airku dapat menerima wanita bekas Jepang yang hina ini.
Serdadu itu terus menemaniku. Terkadang membantuku mengobati luka yang membiru, memberiku makan dari sisa santapannya. Ketika malam tiba, ia menutupi tubuhku dengan karung goni. Sungguh biadab mana yang memperlakukan mainannya seperti ini?

"Oh Tuhan, bukanlah serdadu ini seorang bedebah. Di antara para serdadu dengan nafsu beringas itu masih ada orang berhati lembut sepertinya. Inikah yang Engkau ingin perlihatkan padaku, Tuhan? Seorang malaikat dalam kerumunan iblis bejat," pikirku berkecamuk dalam balutan rasa takjub.

Tidak ada luka yang sembuh dari tubuhku sekalipun serdadu itu mengobatiku. Hanya penderitaan yang silih berganti berdatangan. Tiada lagi kesucian yang dapat aku pertahankan. Karena semuanya telah terampas sejak aku dibawa dengan paksa oleh Jepang. Hanya sebuah kehinaan yang aku miliki. Lalu apa gunanya wajah cantik ini? Ia justru membawa luka pada diri sendiri.

Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang