Laila Nur Fitria Dewi
Arunika tampak begitu megah di ufuk timur. Begitu indah dengan iringan musik alami dari dentuman air hujan yang menyapa genting. Dingin dengan lembut mengetuk kehangatan di balik selimut. Mata yang tertutup mulai mengerjab rapuh karena terusik dingin yang menembus tubuh. Tubuh hangat yang tertutup selimut mulai terbangun. Matanya yang terbuka mulai menyapu ruangan gelap gulita. Raut wajahnya tampak begitu lelah seolah tersirat ribuan masalah.
Lelaki dengan tubuh rapuhnya mulai beranjak dari pulau kapuk tipis tempat segala kenyamanan. Kakinya yang telanjang bersentuhan dengan dinginnya lantai yang dibasahi air hujan. Dengan langkah gontai ia bawa tubuh rapuhnya menuju ke kamar mandi. Dinginnya air mulai menyapa tubuh hangatnya membawa kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya. Selepas itu ia kembali ke dalam kamar. Membalut tubuhnya dengan kain yang memberi kehangatan.
Selesai dengan rutinitas pagi yang begitu membosankan Alianto, remaja bermata sipit itu saat ini tengah menunggu angkot di depan rumahnya. Tak begitu lama ia menunggu, angkot berhenti tepat di depan ia duduk. Dengan semangat ia langkahkan kaki rampingnya menaiki ankutan penuh sesak itu. Suasana di dalam sangat panas berbanding terbalik dengan cuaca di luar yang dingin. Sesak, itulah yang Lian rasakan. Begitu pengap udara di dalam. Bercampur baur dengan asap rokok dan napas panas para penumpang. Ke empat roda angkot itu berhenti tepat di depan gedung SMA Negeri. Tanpa berlama-lama, Lian pergi menuju sekolahnya meninggalkan kesesakan yang membuat derita.
“Selamat pagi gadis pujaan hati,” sapa Alianto pada gadis manis di hadapannya.
Gadis penyandang nama Syafi itu tampak terkejut dengan suara berat Lian yang menyapanya. Pipinya memerah karena sapaan Lian yang membuatnya malu. Bulan sabit terukir jelas di wajahnya. Indah, bagi siapapun yang melihatnya. Siapa mereka yang tak jatuh cinta pada gadis manis ini? Pantas saja Alianto begitu mencintainya. Senyumannya saja mampu membuat hati bergetar.
“Lian apaan sih? Malu tahu,” ujar Syafi.
Gadis itu begitu lembut menatap Lian. Meski dengan nada bicara marah tapi matanya menatap penuh kerinduan.
“Hai, aku merindukanmu Syafi,” ujar Lian.
“Baru juga kemarin bertemu Lian. Kenapa kamu selalu bilang rindu kalau bertemu.”
Dengan senyuman manis Lian menjawab pertanyan Syafi. Di tengah keramaian lorong sekolah sepasang kekasih tengah berbincang halus. Indah, itulah yang seoalah mereka lukiskan dalam suasana kegaduhan.
Sepasang kaki jenjang dari wanita paruh baya menghampiri Syafi dan Lian. Di tangannya terdapat secarik kertas. Bertengger di hidung mancung kacamata berlensa tebal. Bibir merah dan tatapan tajam, takut, itulah yang dirasakan Lian. Sepasang kaki itu berhenti tepat di hadapan Lian. Tangan rampingnya mengulur memberikan secarik kertas tadi pada Lian. Kebingungan terlihat jelas di wajah Lian.
“Kamu diskors Lian;” ujar wanita paruh baya tadi.
“Kenapa, Bu?” tanya Lian kebingungan.
“Tak ingatkah kamu perkataan ibu minggu lalu? Kamu belum bayar SPP dari kelas 10 Lian. Sudah lama ibu memberikan keringanan, tetapi tetap saja tidak kamu cicil. Ini sebagai bentuk peringatan yang terakhir kalinya. Jika kamu masih belum bisa melunasi dengan berat hati ibu harus mengeluarkanmu dari sekolah ini,” jelas wanita paruh baya tadi.
“Tapi Lian masih ingin bersekolah, Bu. Lian mohon izinkan Lian bersekolah, Bu. Lian janji akan melunasinya, Bu. Lian mohon jangan keluarkan Lian, Bu. Akan sangat sulit bagi Lian yang sudah kelas 12 mencari sekolah lain, Bu,” mohon Lian dengan sangat dan nada yang sedih.
“Ibu sudah tidak bisa membantu kamu, Lian. Ibu hanya bisa berdoa yang terbaik untukmu.”
Sepasang tangan dengan lembut menyentuh Lian. Menyalurkan kehangatan dan ketenangan. Dengan lembut tangan itu menyentuhnya, seolah ingin mendekapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen
Short Storyhai ada banyak sekali cerpen yang udah aku buat. beberapa di antaranya ada yang aku ikutkan lomba. Karena bingung mau menyimpan di mana. jadi aku putuskan untuk up di wp. barangkali bisa jadi acuan atau referensi readers untuk membuat cerpen. terim...