Reduplah Nippon (Sejarah perjuangan)

3 0 0
                                    


Oleh: Laila Nur Fitria Dadi

Tatkala Sang Nippon mencekik kegelapan dari ufuk timur nusantara. Dengan zirah besi dan sebilah pedang sakti memutus nadi kami. Mengancam dengan sebilah pedang atau dengan senapan yang tak pernah lepas dari tangan. Bergetar kami dibuat mereka, ketika pelatuk pistol telah ditekan.

Dor dor dor

Melangit menggelegar dentuman dahsyat itu. Ancaman bagi kami yang tak patuh pada perintah para serdadu. Kacau, kesempatan bagus pikirku. Aku mengendap-endap mengambil segenggam beras dari karung goni yang sedang mereka kumpulkan. Celakanya aku ketahuan oleh para Jepang yang licik itu.

Ah, berlari pagi lagi aku dibuatnya. Dengan tubuh rampingku meliuk-liuk di antara tiang-tiang kayu membuat para serdadu itu kewalahan. Licin, cerdik, itulah aku menurut beberapa orang. Mana sudi aku memberikan hasil panen pada para serdadu Jepang yang perutnya buncit itu. Seolah akan meledak perut itu karena terlalu banyak makan hasil peras keringat kami.

"Alif kau mencuri lagi?" tegur Jaka padaku.

"Mencuri apa lah, Jak? Mana ada aku mencuri? Merekalah yang telah mencuri," jawabku.

"Tapi kau sudah terlalu sering melakukannya, Lif. Aku hanya takut kalau kau tertangkap," ujar Jaka.

"Hei.... Tidaklah Pak Kiyai telah mengajarkan kita agar tak takut mati melawan mereka? Kau tak kasihan pada orang-orang desa yang mati-matian menyembunyikan berasnya?" tanyaku.

"Kasihan itu sudah pasti, Lif. Tapi apalah daya kita. Hanya santri biasa yang tidak pernah memegang pedang. Bagaimana mau melawan Jepang jika kita saja hanya pandai memberikan khutbah saat jumatan?" sindir Jaka padaku.

"Kita bisa berperang. Minta saja Pak Soegi mengajari kita ilmu pedang. Bukankah dia orang yang lihai bermain tongkat rotan."

"Terserah kau saja, Lif. Aku tak mau ikut-ikutan jika kau sampai dihajar oleh Jepang."

Satu karung beras berhasil aku kumpulkan. Kini hanya tinggal meninggu malam, lalu aku bisa membagikannya pada orang-orang terlantar.

Saat suasana telah sunyi. Aku mengendap-endap memberikan beras pada para fakir di luar pondok. Wah, baik sekali aku. Pikirku memuji diri sendiri. Dengan pelan aku berjalan. Menyusuri malam yang begitu gelap. Mana mungkin juga aku melewati jalan yang ada cahayanya. Bisa-bisa para serdadu itu menghajarku habis-habisan karena segenggam beras yang aku bawa.

Sampailah aku pada rumah reot pasangan tua di desaku. Yah, aku memang berasal dari desa ini. Tapi karena kedua orang tuaku telah tiada, aku pun di rawat oleh Pak Kiyai di pondok pesantrennya. Orang tua yang berada di hadapanku ini tengah terjaga menahan lapar. Dengan sigap aku memberikannya beras. Tidak begitu banyak, hanya beberapa genggam yang aku bawa dengan pakaian. Tapi, hal itu sudah mampu membuat mereka tersenyum begitu lebar. Berucap ribuan syukur seolah baru saja mendapat berlian.

"Terimakasih, Nak. Semoga kau selalu dalam lindungan-Nya," ujar nenek itu.

"Aamiin. Alif pulang dulu, Nek. Takut nanti para buncit menangkap Alif. Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam."

Selesai dengan satu orang, aku lanjut lagi membagikan pada orang lain. Belum selesai aku membagikan beras itu, ada salah satu serdadu memergokiku. Ah, sial, pikirku. Tidakkah mereka akan melepaskanku dengan mudah. Pasti aku akan dihajar habis-habisan oleh mereka. Lari? Tak lagi sempat aku melakukannya. Serdadu ini menangkapku dari dua arah yang berbeda.

"Ah, berakhir sudah nasibku sampai di sini," batinku.

Para serdadu itu membawaku pada lapangan di tengah desa. Mengikatku pada tiang lampu yang berada tepat di tengahnya. Memberontak jelas sudah aku lakukan. Tapi dengan tubuh kurus keringku ini mana bisa melawan mereka yang gagah dan berani. Ciut sudah nyaliku jika di hadapkan langsung dengan mereka semua.

Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang