BAB 3

15 4 2
                                    

Libur panjang berakhir. Bryan pamer satu kelas bahwa aku mengajarinya selama liburan. Plus promosi kepada teman-teman sekelas bahwa aku membuka les gratis bagi siapapun yang ingin bertanya mengenai mata pelajaran apapun selain olahraga.

Seenak jidat dia mengumumkan namun aku tak bisa menolak. Anggap saja itu adalah bentuk rasa terima kasih karena Bryan telah menghangatkan hatiku, mencairkan hati yang telah lama membeku.

Ulangan harian pertama. Bryan yang duduk di bangku paling belakang tersenyum puas mendapat lembar jawaban yang telah dinilai. Untuk pertama kalinya selama belasan tahun sekolah, dia mendapat nilai delapan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Untuk pelajaran lain, dia masih yang terburuk.

"Ota!" Bryan berseru padahal ada guru di depan.

Aku menoleh ke belakang. Terperangah melihat bocah besar itu memamerkan lembar ulangannya. Mulutnya terbuka. Senyum sehangat mentari terbit menghias wajah tampan. Hatiku tergelitik dan dengan tulus tersenyum tipis seraya memberinya bu jari. Memberi apresiasi meski hanya nilai 8. Nilai terburukku selama belasan tahun sekolah.

Libur panjang tidak hanya menguntungkan Bryan. Berkat dia, nilai pelajaran olahragaku yang biasanya 6 dan 5 bisa meningkat menjadi 7. Ya, aku buruk di bidang olahraga.

Bisa dibilang aku berubah. Sejak kecil aku telah menciptakan sebuah dinding pembatas antara aku dengan lingkungan sekitar. Atau bersikap acuh tak acuh.

Kini, Bryan berhasil menghancurkan dinding tersebut.

Aku mulai bergaul dengan teman-teman sekelas. Terutama Galaksi, Cindy, dan Diandra. Di jam istirahat kami menghabiskan waktu bersama. Dalam beberapa kesempatan kami menjadi satu kelompok mengerjakan tugas.

Menghancurkannya? Ah, ralat. Dia hanya membangun sebuah pintu.

Jika seseorang coba mengganggu, Bryan yang setia berdiri di depan pintuku akan segera bangkit sebagai tameng pelindung. Memamerkan tatapan paling tajam dan aura menggertak seakan hendak menerkam.

Itu lebih dari cukup untukku, selama dia tetap berada di sisiku. Dan dalam waktu singkat, ketika ia berbalik menatapku, senyum sehangat mentari terbit menghias pahatan indah wajah tegas. Aura garang dan mengintimidasi gugur seketika.

......

Akhir bulan Desember. Hujan sedang hobi turun tanpa kenal waktu. Pagi hujan, terang sebentar, lalu hujan lagi sampai siang. Ini hari kedua matahari tidak memunculkan diri.

Ah, aku bosan dengan langit kelabu.

Bryan tidak masuk sekolah. Guru mengabarkan kalau semalam ia mengalami kecelakaan. Truk besar menabrak motornya.

Satu sekolah heboh dengan berita kecelakaan Bryan, salah satu cowok populer di sekolah dan berpengaruh dalam tim basket. Juga kebanggaan sekolah karena berhasil menjuarai turnamen taekwondo tingkat provinsi. Orang-orang yang mengenal dan para guru berencana menjenguknya sepulang sekolah.

Aku tak ingin kalah cepat dari mereka. Karena itu aku memutuskan bolos di jam kedua demi menjadi orang pertama yang menjenguk Bryan.

Kekhawatiranku tak sesuai ekspektasi. Sampai di rumah Bryan, tante-maksudku ibu mengizinkanku masuk ke kamar Bryan. Di sanalah, bocah besar yang membuatku khawatir setengah mati tengah santai bermain game di ponsel. Sepasang earphone bersarang di lubang telinga. Seperti inikah kondisi orang yang baru mengalami kecelakaan?? Aku yakin berita yang tersebar di sekolah salah.

Aku mengetuk pintu kamarnya yang terbuka, "Bryan?"

Karena terlalu fokus Bryan tidak mendengarku. Jengah, aku melenggang masuk dan tanpa permisi mencabut earphon dari telinga Bryan.

You Are Eternal In My MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang