002. The Reason Why

177 33 3
                                    

Berdehem kecil, aku lantas bertanya, "apa yang anda maksud, Ayah?" Keringat dingin muncul dari pelipisku, aku berusaha menepis kegugupan dalam diriku sebisa mungkin. Nihil, perasaan itu masih menempel.

"Yoichi ...." Pria yang lebih dewasa dariku itu menundukkan kepalanya, ada apa sebenarnya? Tak lama, beliau mengangkat kepalanya lagi dan menatapku intens. Terus terang aku sangat gugup sekarang. Sembari terus melekatkan pandangannya kepadaku, ayah berkata, "kamu tidak setuju atas perjodohan ini, kan? Kamu menangis tiap malam memohon kepada siapapun yang ada di langit untuk membebaskanmu dari ikatan paksa ini."

"Hah?"

"Yoichi, kamu bisa mengutuk Ayah nanti tapi ... kumohon, terimalah perjodohannya, Nak."

"Hah?"

Aku tak bisa apa-apa selain melongo kala ayah melontarkan kata dan kalimat yang bahkan tak kuketahui konteksnya. Perjodohan? Isagi Yoichi ini akan dijodohkan? Atau bahkan, sudah?

Memberanikan diri untuk angkat bicara, aku memasang wajah pahit dan menutur, "eum ... iya, Ayah. Yoichi akan coba terima."

Menurut hipotesis yang muncul di kepalaku, ini mungkin mirip seperti kisah cinta yang bermula dari perjodohan paksa oleh orang tua masing-masing.

Kepingan puzzle bagai berterbangan di belakang kepalaku, aku mulai paham dan mengumpulkan masing-masing kepingan itu untuk menemukan titik terang.

Seburuk itu kah orang yang akan dijodohkan dengan Isagi Yoichi sampai (berdasarkan ucapan viscount) dia menangis setiap malam?

Di tengah kegusaranku, figur viscountess yang lemah lembut dan penyayang pun mulai menunjukkan karismanya. "Yoichi ... terima kasih atas pengertianmu. Maaf karena kami, sebagai orang tua, belum bisa memberikan yang terbaik untukmu dan justru membebanimu seperti ini. Yoichi anak hebat."

Ah ... aku ingin menangis, tapi rasa bingungku lebih dominan. Pantaskah aku menerima kata-kata ini?

Aku ....

Aku 'kan hanya terima keadaan karena takut kepalaku akan dipenggal lantaran membangkang.

Tapi nampaknya tidak. Harusnya aku membangkang saja. Merengek kalau boleh.

Lagipula, aku bahkan tidak tahu akan dijodohkan dengan siapa.

Kepalaku aku anggukkan sebagai respon ucapan hangat dari viscountess. Beliau sebagai gantinya memberiku senyuman hangat yang tercampur dengan ekstra kekhawatiran di sana.

Hm ... setelah ini aku harus segera membaca habis buku diari Isagi Yoichi dan mengambil sebanyak-banyaknya informasi dari sana. Tapi, kurasa itu juga belum cukup. Apa aku harus mengunjungi perpustakaan kota? Aku tidak akan selamanya hidup tenang tanpa pengetahuan umum sedikitpun di tempat ini seperti ini.

Makanan kami sudah habis. Aku sungguh berterima kasih sebab bisa merasakan masakan lezat setelah sekian lamanya hidup miskin. Steik yang aku makan dulu bersama ayah dan ibuku bahkan tidak seenak masakan koki di sini.

Seperti yang diharapkan dari kediaman bangsawan. ⊂(*´˘'*)⊃

Tak lama, ayah mengizinkan kami sekeluarga untuk keluar dari ruang makan setelah berbincang sejenak. Aku lega. Tapi, sepertinya aku kelupaan sesuatu.

... Hm.

Oh, bukankah sir George bilang akan ada tamu yang akan datang? Bukti bahwa sampai sekarang belum ada orang lain selain pelayan yang datang menghampiriku berarti memang tamunya ditujukan untuk ayah, bukan diriku.

Aku menghela nafas lega selagi menghampiri sir George yang selama ini berjaga di depan pintu ruang makan, menungguku untuk keluar.

"Sir, aku ingin membaca buku sekarang," tuturku dengan lantang. Butler yang satu itu mengangguk dengan patuh dan membawaku ke suatu tempat. Menurut dugaanku, itu bisa saja perpustakaan atau ruang belajar pribadi.

Not Me || KaiSagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang