003. One Path Forward

155 30 3
                                    

Kotoran.

Aku sedang merebahkan diri di bawah sinar matahari sesaat lalu, sebelum semuanya buyar karena bayangan pria dewasa ini menutup jalur sinar matahari ke wajahku.

"Senang berjemur, Yoichi? Inikah pemandangan pertama yang harus aku lihat sesaat setelah aku kembali ke rumah?"

Siapa pula manusia satu ini?

"Ryuu, kita harus menemui paman terlebih dahulu," tegur lelaki di belakangnya. Mereka terlihat seperti saudara kandung dengan warna rambut silver yang sama dan postur wajah yang hampir mirip.

Tunggu, Ryuu? Itu, 'kan, nama sepupu Isagi Yoichi di sini?

Aku tidak bisa langsung mengenali mereka karena di dunia asalku aku tidak memiliki satupun kerabat. Hanya aku, ibu, dan ayah meski pada akhirnya aku menjadi sebatang kara setelah mereka berdua pergi meninggalkanku.

Intinya, mereka adalah orang asing bagiku di dunia lama sekaligus untuk di dunia ini.

Ryuu ... apa itu berarti yang di belakangnya adalah Rei?

Mendecakkan lidahnya, lelaki bernama Ryuu barusan membalikkan tubuhnya memunggungiku. Oleh karena itu, aku mulai membuka mulut setelah sekian lamanya terdiam mengobservasi.

"Kak Ryuu, harusnya kamu memukulku."

Pertanyaanku membuat mereka berdua tersentak kecil. Tak lama, Ryuu tersenyum kepadaku. Jujur, itu agak membuatku takut.

"Yoichi yang polos, atau ... bodoh, kurasa? Apa yang baru saja kamu katakan?" tanya Ryuu dalam nada geram.

Rei di sisi lain memandangku rendah dari atas seolah ia sedang mempertanyakan kewarasanku.

"Ada apa?" Aku memiringkan kepalaku sambil menunjukkan wajah tak bersalah. Kedua pria bersurai silver itu sepertinya sedang berdebat ingin memukulku atau tidak. Belum sempat Ryuu melayangkan tinju padaku, aku melanjutkan, "kenapa Kakak tidak memukulku langsung seperti biasanya? Padahal, aku sudah menanti dan berniat menerima seluruh pukulanmu tanpa menghindar hari ini. Kenapa, Kak Ryuu?"

Rei menurutku cukup pintar dan observan. Dia sedari tadi hanya mengamatiku dalam diam, mungkin dia itu tipe yang menggunakan otak sebagai senjata.

"... Kamu masokis?" Yang badannya lebih kecil menyeletuk.

Ucapannya disambut keterkejutan oleh Ryuu. Sedangkan yang kedua lalu memelototiku jijik seolah aku adalah mahluk paling hina di dunia.

"Aku tidak tahu apa itu masokis, tapi aku merasa senang ketika Kakak melukaiku. Aku ... merasa disayang," tungkasku yang hampir membuat Ryuu memuntahkan makanan mewah dalam perutnya ke wajah rupawanku.

Rei tentu turut menatapku hina. Ia sedari tadi mengalungkan tangannya di sekitar lengan kekar Ryuu. Menahannya agar tidak melukaiku. "Jangan memukulnya, Ryuu! Dia malah justru akan menikmatinya."

"Jalang kotor! Alasanku untuk membencimu jadi bertambah satu sekarang!" teriak Ryuu tepat di depanku.

Mereka ujung-ujungnya pergi melanjutkan urusan mereka yang tertunda karenaku.

Sudah? Begitu saja? Mereka membiarkanku lolos?

Menahan gelak tawaku, aku menggumamkan kalimat, "setidaknya aku tidak jadi dipukul hari ini." Tubuhku yang semula terduduk di atas rumput taman kuubah menjadi berdiri. Sambil tanganku membersihkan kotoran yang menempel di bajuku, aku berbalik untuk mengambil kembali buku diari Isagi Yoichi, berniat untuk pergi pulang ke dalam kamar.

Belum sempat aku melangkahkan kaki, pergerakanku terhenti lantaran tatapan yang dilempar oleh seorang pria.

Dia duduk di atas pinggiran kolam air mancur dengan pakaian hitam elegannya, menatapku lurus seolah mengamati gerak-gerikku dengan seksama.

Not Me || KaiSagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang