4. Ruang Waktu

2 1 0
                                    

“Jika memasuki ruangan ini,
Akan kamu temui masa lalu dan masa depan."

Di sabtu yang cerah ini, tanpa tugas kuliah yang menghantui, mereka mempersiapkan kejutan untuk ulang tahun Ocha. Dimulai dengan memilih kue ulang tahun di toko "Sweety Bakery".

"Be, kalau yang coklat itu kayaknya enak deh. Harganya juga bersahabat loh," bisik Jey saat melihat kue bundar berbalut krim coklat.

"No. Kita serahkan pada ahlinya aja, Jey."

Tatapan heran Jey semakin lekat. Tangan kanannya spontan menyentuh dahi Albe. "Be, lu lagi sakit ya?"

"Kagak. Emang kenapa?" balas Albe.

"Dari tadi omongan lu ngelantur loh-" Ucapan Jey terputus saat melihat pria bercelemek putih keluar dari pintu. Tampilannya bak koki yang sering muncul di acara lomba memasak di televisi.

"Mas Tyo!" seru Albe. Jey langsung menoleh sembilan puluh derajat ke kiri, dan menatap penuh rasa kebingungan pada sahabatnya itu.

Pria itu tentu saja menoleh. Beberapa detik menatap Albe. Setelah itu senyumannya mengembang seperti roti-roti di toko itu. Hangat, manis, dan membuat Jey menelan ludah. Bahkan tatapannya tak berkedip.

Albe maju dan menyalami Mas Tyo. Mereka masih asyik mengobrol tentang kabar masing-masing, sampai lupa ada Jey yang terlihat seperti patung.

"Gimana kabar kamu, Bert? Sudah ujian?"

"Belum Mas. Kayaknya masih kurang dua bulan lagi. Eh, Mas... kemarin paman ke sini ya?"

"Iya. Aku sendiri kaget loh. Tiba-tiba ayah muncul gitu dari balik pintu itu!" balas Mas Tyo.

Selang dua menit barulah Albe memperkenalkan Mas Tyo pada Jey. "Aku kesini gak sendiri. Ini sahabat aku, Mas. Namanya Jey."

Jey menyalami Mas Tyo yang masih belum dia ketahui asal-usulnya. Tapi yang dia tahu, pria dihadapannya saat ini adalah pemilik toko roti ini. Ada kartu identitas di dada kirinya. Bertuliskan 'Darto Brilliantyo'.

"Ah, ternyata dia sudah melihat ID Card sampeyan," seloroh Albe. Kedua netranya menatap Jey sembari menyeringai.

Jey menampakkan wajah malu-malu. Sahabatnya itu justru mempermalukan dirinya di depan orang baru. Bahkan pikiran Jey mulai menyumpah serapahi sahabat songongnya itu.

"Jey, ini kakak sepupuku. Dia baru buka toko ini sudah seminggu atau dua minggu yang lalu. Benar 'kan, Mas?" jelas Albe.

"Iya. Toko ini baru buka sekitar dua minggu yang lalu. Ini hasil dari kuliah kuliner di luar negeri, hehe." Mas Tyo tersenyum ramah. Hidung mancung dan mata sipitnya mampu menghipnotis Jey. "Awalnya mau buka restoran. Tapi orang tua engga mengijinkan. Kata mereka, aku buka toko permen, toko roti atau yang lain yang engga terlalu besar. Kalau yang kecil sudah sukses, baru deh buka restoran yang besar."

Albe menyahut, "Dan ya... akhirnya kesampaian buka toko roti ya, Mas."
"Iya, hehe."

***

Mas Tyo mengajak dua pelanggannya itu menuju ruang produksi. Pintu kayu menjadi pembatas antara toko dan ruang produksi. Disana, ruangan itu dominan berwarna putih, berbeda jauh dengan tampilan depan toko yang berwarna krem.

Jey tak henti melihat-lihat di sekelilingnya. Kedua netra mengamati tiap karyawan yang sibuk bekerja. Mengaduk adonan. Menggiling adonan. Mencetak adonan. Memanggang roti. Dan terakhir adalah menghias roti.

Di salah satu sudut ruang produksi menjadi tempat menghias roti maupun kue yang telah matang. Tempatnya bagaikan dunia yang dipenuhi semua warna di bumi. Hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru. Dihias kue hijau, Waw!! Jey terperangah kagum dengan kue itu. Ya, karena Jey menyukai warna hijau.

Pena Berlian & Kertas EinsteinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang