Aku sudah bangun sebelum jam empat pagi. Aku memang berniat bangun pagi karena pasti Ayash akan keluar masuk kamar ini kan sebelum bekerja. Jadi sebelum itu terjadi aku memilih untuk bangun lebih awal, meskipun sebetulnya aku ingin tidur lebih lama.
Kamar Ayash sangat nyaman. Kamar ini didominasi dengan warna cokelat dan properti yang terbuat dari kayu. Ranjangnya punya empat tiang kokoh, lemari kayu besar dengan ukiran-ukiran cantiknya berdiri menghiasi sudut kiri ruangan. Di depan melihat bufet panjang minimalis yang tinggi sekitar satu meter yang dihiasi figura foto dan beberapa buku yang disusun rapi.
Aku penasaran apakah Ayash menata rumah dan kamarnya sendiri atau memiliki pembantu yang membantunya merawat rumahnya. Dari kemarin aku tidak melihat adanya pakaian yang digantung asal, perabot rumah yang diletakkan asal, semua tertata dengan rapi. Bahkan dapurnya pun kemarin aku lihat rapi sekali.
Aku memaksakan diri untuk segera bangkit dari tempat tidur dan segera merapikan bedcover warna putih yang semalam membuatku terlelap nyaman.
Kenapa nyaman sekali sih? Kan jadi nggak mau bangun.
Di dekat lemari ada pintu lain di kamar ini yang aku yakin adalah kamar mandi. Waktu aku lihat kamar mandinya juga bersih, meskipun kamar mandinya tidak memiliki shower atau bathtup seperti di kamarku. Bahkan aku tidak melihat adanya kerak air, yang menunujukkan bahwa kamar mandi pun sangat terurus. Peralatan mandinya tersusun dengan rapi, bahkan aku juga melihat pengharum ruangan di sini.
Sepertinya memang Ayash itu orangnya suka kebersihan dan rapi. Kalau tidak mana mungkin rumahnya sebegitu rapinya.
Setelah membasuh muka, aku segera keluar kamar dan duduk di ruang TV yang kebetulan ada di depan kamar Ayash. Aku duduk di sana sampai mendengar suara pintu terbuka lalu ditutup. Aku tidak mencari asal suaranya, karena aku yakin itu Ayash yang baru keluar dari kamar Lila.
Suara langkah kaki terdengar makin mendekat.
"Udah bangun? Kamu biasa bangun pagi?" tanya Ayash yang wajahnya masih terlihat seperti orang bangun tidur.
"Enggak," jawabku jujur.
Ayash mengangguk. Kemudian duduk di kursi yang lain. Kami diam selama beberapa saat sebelum akhirnya dia kembali bersuara.
"Ini baru jam setengah lima."
"Kamu nggak duduk di sini sepanjang malam, setelah saya masuk ke kamar Lila kan?" lanjutnya.
Aku menatap Ayash malas. "Enggak, aku tidur di kamar kamu."
Dia kembali mengangguk.
"Kalau kamu lapar atau haus, kamu bisa ke dapur."
Aku diam.
"Mau saya buatkan sesuatu?" tawarnya. "Biasanya saya dan Lila sarapan yang mudah-mudah. Kalau kamu mau saya buatkan telur mata sapi."
"Enggak usah. Makasih banyak," tolakku berusaha tidak ketus meskipun aku kesal dengan tawaran berisiknya.
Aku cuma mau sendirian. Itu aja.
"Saya pakai kamarnya sebentar ya," katanya yang membuatku mengerutkan dahi.
Ya tinggal pakai aja, ngapain harus izin?
Aku kembali duduk terdiam dalam bosan. Sambil berpikir setelah ini aku harus apa? Selain kembali ke rumah orangtuaku aku bisa apa?
Aku tidak punya uang, ponsel juga diambil Mama, aku tidak ingin merepotkan teman-temanku.
Ini kah yang dinamakan jalan buntu?
Aku mendengus pelan.
Sepertinya aku harus menurut sementara sampai aku mendapatkan dompet dan ponselku lagi. Setelahnya aku akan kembali rencana awal, tapi aku tidak akan meminta izin pada Mama dan Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clumsy Sisi
RomanceMama bilang kalau menantu idamannya itu harus PNS. Kalau usaha peternakan yang diwariskan oleh orangtuaku bangkrut, paling tidak masih ada suami yang punya penghasilan tetap dan stabil. Dan Ayash adalah nama laki-laki pilihan orangtuaku. Katanya, Ay...