1. FLASHBACK

93 28 24
                                    

Happy Reading

Jangan lupa tusuk bintang di bawah

"Mau jadi apa kamu dengan nilai segini, hah!?" Pria itu merobek kertas ujian Tasya.

"Maaf, Pa. Tasya udah berusaha, tapi ...." Pria itu--  Andre, dengan sekuat tenaga menghempas ujian yang ia robek ke wajah manis Tasya. Tasya hanya menundukkan kepalanya sembari memegang kedua tangannya, ia sangat ketakutan ketika berurusan dengan nilai apalagi jika berurusan dengan ayahnya yang tegas. Bahkan tak segan ayahnya itu melakukan kekerasan fisik pada anaknya-- Tasya.

Tari yang baru masuk kedalam rumah dikejutkan dengan kondisi anaknya yang sedang berjongkok memunguti sebagian kertas berserakan di lantai. "Apa yang terjadi, sayang?" Tari bertanya kepada suaminya.

"Lihat anak gak tau diri ini, lagi-lagi nilai dia anjlok, bikin malu saja!" Andre menendang tubuh mungil Tasya hingga tersungkur ke lantai, sedangkan Tari mendekat ke arah Tasya mengangkat kerah baju seragam yang Tasya kenakan hingga membuatnya berdiri.

"Mau sampai kapan kamu seperti ini, Tasya!" bentak Tari, menampar pipi Tasya. Tasya memekik kesakitan.

"Maaf ...," lirih Tasya, matanya sudah memerah. menahan tangis. Tari menatap sinis pada Tasya yang sedang menunduk dalam. "Maaf katamu? Sekarang kamu ke kamar dan belajar! Tak ada makan malam jika kamu tidak belajar, saya akan menyuruh pelayan lain untuk memantau kegiatanmu. jangan coba-coba lari lagi!" Tari menarik paksa Tasya menuju kamar.

Di dalam kamar Tasya menangis dalam diam, kakinya melangkah pelan dan duduk dengan lemas di meja belajarnya. Membuka buku kimia dan mulai membaca, air matanya ia usap dengan kasar. Percuma saja ia melawan, ayah dan ibunya tidak pernah mendengarkan. pernah saat itu ia melawan saat ia masih duduk di sekolah menengah pertama yang akhirnya ia mendapatkan jahitan di kepalanya. 

kedua orang tuanya sangat keras, Tasya dituntut untuk sempurna. Ia bisa mempertahankan peringkatnya di kelas ataupun umum. nilainya turun sedikit saja ayahnya seperti tidak mengizinkannya untuk bernapas, ia terus di hantui oleh kekerasan yang ada di dalam rumah.

***

Pembagian rapot sebentar lagi, Tasya dengan was-was menunggu gilirannya. Ia pasti mendapat urutan terakhir karena memang diurutkan dari siswa yang memiliki peringkat yang paling buruk. Dengan senyum mengembang Tasya maju kedepan setelah dipanggil. "Selamat Tasya, kamu ada di peringkat ke dua!" Senyum Tasya luntur. tubuhnya menegang. apa ia salah dengar?

Tasya melangkah dengan lemas kembali ke bangkunya. "Selamat pada Tio yang semester kali ini mendapatkan peringkat pertama di kelas kita!" Guru di depan sana berseru riang. Tasya mendongak melihat teman sekelasnya yang menyingkirkannya di posisi paling nyaman Tasya. tasya memandang sinis pada Tio. Tidak! harus dirinya yang mendapatkan peringkat pertama, bagaimanapun caranya! Tasya tidak mau menjadi sasaran kemarahan Andre karena kecerobohannya yang kali ini sangat fatal. Ia harus menyingkirkan orang-orang yang dapat membuatnya dalam posisi yang bahaya. 

Tasya memutar otaknya, hal apa yang sebaiknya ia lakukan? Tasya tersenyum miring, ia tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Tasya melangkah, mendekat pada Tio. "Wah, semalem gue mimpi apa, ya, bisa sampe dapet peringkat pertama?" Tio sengaja mengejek Tasya. Tasya melotot mendengarnya, tapi ia menyunggingkan senyuman. 

"Selamat, Tio!" Tasya menjulurkan tangannya niatnya ingin mengajak bersalaman, tapi Tio menepisnya. Tasya semakin dibuat geram oleh tingkah laku Tio. Tasya menggeretakan giginya.

Tasya mengehela napas pelan, sudah sore tapi dirinya belum juga pulang. Tasya duduk di halte dekat sekolah. ia pun mengambil handphone nya yang berada di rok seragam nya, Tasya mencari kontak yang bernama 'Tio' hingga akhirnya ketemu dan menghubungi Tio.

"Aku mohon, Tio ...," ucap Tasya lirih. "Aku gak tau harus minta tolong sama siapa lagi, ayah aku pasti tidak akan menjemputku jika tahu nilaiku turun, bahkan ia tidak segan memukulku."

Setelah mendengar alasan Tasya akhirnya Tio mengiyakan permintaan Tasya. Tio mematikan sambungan teleponnya sepihak. Tasya tersenyum miring, tak sabar ingin segera malancarkan aksinya. 

Setelah beberapa menit kemudian, Tio datang dengan sepeda motornya. Tasya tersenyum ceria menghampiri Tio. Tasya memeluk Tio. "Makasih udah mau jemput aku, Tio." TIo membeku di atas motornya. 

"Lepas!" Tio mendorong paksa tubuh mungil Tasya. hingga Tasya mundur beberapa langkah kebelakang

"Aduh! aku mau pipis, kebelet banget! Temenin." Tanpa terlebih dulu mendengar jawaban dari Tio, Tasya langsung menarik Tio. Tio pasrah dan meninggalkan sepeda motornya di depan halte. Keduanya dengan berlari masuk kembali ke dalam sekolah. 

"Kamu tunggu di sini, ya," pinta Tasya. Tio hanya mengangguk mengiayakan. 

Tasya segera masuk kedalam toilet, ia langsung mengenakan sarung tangan dan mengambil sebuah pisau yang sebelumnya telah ia siapkan. 

Sedangkan di depan toilet sana ada Tio yang asik dengan ponselnya tiba-tiba mendengar suara jeritan Tasya. Dengan cepat Tio masuk dan mencari pintu toilet yang digunakan Tasya. "Lo gak apa-apa, Sya?" tanya Tio sedikit berteriak. 

"Aku ke kunci di sini, pintunya gak tau kenapa gak bisa dibuka!" 

Tio mencoba membukanya tapi tidak bisa. "Gue mau dobrak pintunya, lo munduran, Sya!" di dalam sana Tasya melebarkan senyumnya. 

brak!!

pintu terbuka lebar bersamaan sebuah pisau yang menusuk kerongkongan Tio. Darahnya menciprat ke depan, mengenai seragam yang Tasya kenakan. Tio membelalakan matanya, tak percaya dengan beberapa detik tadi, dirinya memuntahkan darah, tangannya menyentuh pisau yang tepat menusuk lehernya. Tasya tersenyum puas. 

"Aku akan menyingkirkan semua orang yang merusak ketenanganku." Tasya mencabut pisau yang menancap di tenggorokan Tio, tertawa kecil saat Tio memekik kecil. "Ah, pasti rasanya menyakitkan." Sedangkan Tio menatap Tasya tak percaya sembari menahan sakit. Tio dengan lemah mencoba bangkit, tapi pandangannya mulai kabur dan semakin menggelap, Tio pun tak sadarkan diri. Tasya hanya tersenyum miring sembari menatap kearah mayat Tio. Tasya berjalan santai masuk ke bilik toilet di sebelah, ia langsung berganti seragam yang penuh darah Tio dengan baju olahraga sekolah, kebetulan ia membawanya. 

"Selamat tinggal Tio, setelah ini aku pastikan tidak akan ada yang berani mengusik ketenanganku, jika ada maka dia akan bernasib sama denganmu." Tasya tersenyum puas melihat Tio yang tergeletak tak bernyawa di dalam bilik toilet, setelah sebentar melihat mayat Tio, Tasya langsung keluar dan pergi dari sekolah. 

***

"Bagaimana bisa ini semua terjadi!" Andre murka, membanting semua benda yang ada di hadapannya. Andre mengambil vas bunga yang berada dihadapannya dan membantingnya keras mengenai kepala Tasya. Tasya memekik tertahan, kepalanya mengeluarkan darah yang sangat banyak. Tari yang sendari menonton memandang khawatir Tasya, ia masih waras, ia pun sama terkekangnya. Selama ini tari hanya menuruti keinginan suaminya. tidak mau di dipermalukan oleh keluarga besar hingga Tasya harus bisa membanggakan di hadapan keluarga besarnya. Sama halnya dengan Tasya, Tari juga akan menjadi sasaran kemarahan Andre jika saja keinginan suaminya itu tak terpenuhi.

"Tasya udah berusaha, Pa. maafin Tasya ... Tasya pastiin di semester berikutnya tasnya ada di peringkat satu dan peringkat satu juga di umum. Tasya janji sama Papa." 

Andre menganggukkan kepalanya. "Buktikan!"

***      

Mohon maaf jika banyak typo dan kesalahan.

Ini bukan salam hangat tapi salam kematian dari Mei & Arin

THE AMBITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang