2. MENJELANG UJIAN PERTAMA

72 27 6
                                    

Happy reading

Jangan lupa sayat bintang di bawah itu, ya!

Jika ada typo mohon maaf, dan jika berkenan ditandai.

***

Alin melangkahkan kakinya perlahan menuju perpustakaan, temannya-- Maya, sudah menunggu lama di sana. Alin menambah kecepatannya, tak ingin membuat Maya kesal menunggunya. Perpustakaan Lah yang menjadi pengikat diantara keduanya.

"Lama banget kaya abis berak," ucap Maya dengan sedikit candaan.

"Maaf bikin nunggu lama." Alin segera duduk di sebelah Maya yang sedang berkutat dengan bukunya. Alin mengambil buku yang sedang Maya baca. Melihat judul novel yang sedang Maya baca, Maya memberi protesan atas ulah Alin yang tiba-tiba merebut novel yang sedang ia baca. Alin segera mengembalikannya.

"Entah kenapa akhir-akhir ini gue lebih suka sama novel horor." alin bersuara pelan.

Tidak ada siapa-siapa di perpustakaan hanya mereka berdua dengan guru penjaga perpustakaan yang diketahui bernama Ibu Wita. Memang setiap harinya perpustakaan sepi hanya beberapa saja yang datang berkunjung. Guru penjaga perpustakaan juga sudah berumur 50-an. Tidak ada yang mengurus perpustakaan ini selain guru perpustakaan itu seorang. Perpustakaan ini jika melihatnya dari kejauhan sudah tampak seperti bangunan tua, padahal sering kali ada yang membersihkan. Namun, entah kenapa bangunan ini seperti memiliki kesan menyeramkan. Sebenarnya sedang ada pembangunan perpustakaan yang baru yang jaraknya pun tak jauh dari perpustakaan ini. hanya menunggu beberapa bulan lagi untuk selesai. Alin dan Maya sudah tak sabar menunggu hal itu.

Alin bangkit berdiri dan mencari buku yang sekiranya cocok untuk ia baca. Ia sempat bertanya pada ibu Wita, ia menjawab pertanyaan Alin dengan suara yang pelan dan lemah. Alin kembali duduk di sebelah Maya. "Lo gak mau belajar buat ujian nanti?" Alin bertanya.

Maya menggelengkan kepalanya. "Aku gak belajar juga udah pinter, Lin." Maya menyombongkan diri. Alin tertawa kecil.

"Kamu sendiri juga gak belajar tuh," ucap Maya saat melihat buku yang Alin bawa adalah novel bergenre horor. Alin kembali tertawa kecil. Alin membaca novelnya dengan keseriusan yang luar biasa membuat Maya yang di sebelahnya tertawa melihat keseriusan Alin. Maya jadi teringat pertama kali ia dan Alin bertemu. mereka bertemu dengan tidak sengaja di lorong sekolah yang kebetulan Maya melihat Alin yang sedang dirundung oleh kakak kelasnya. Maya datang di kehidupan Alin sebagai penolong. Tidak lama mereka mengetahui bahwa mereka memiliki beberapa persamaan, seperti menyukai menulis, belajar, bahkan membaca novel.

Alin yang sedang fokus membaca novel dikejutkan oleh Tian yang tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang, Alin memekik tertahan.

Ibu Wita menegur Alin agar tidak berisik, bagaimanapun juga ini adalah perpustakaan.

"Maaf, Bu. Alin emang kaya tarzan teriak-teriak terus kerjaannya." Tian menjawab sembari tertawa kecil, Alin yang mendengar itu berengut kesal dan melanjutkan kegiatannya yang sempat terpotong.

Maya terkekeh. "Udah-udah kasian loh Alin, liat aja mukanya sampe kesel gitu," peringat Maya kepada Tian. Tian hanya menganggukkan kepalanya. Mendudukkan dirinya di hadapan kedua teman perempuannya.

"Sejak kapan kalian suka baca novel? terus bukannya belajar malah baca novel disini." Tian mulai berbicara kembali, sedangkan yang di ajak bicara hanya mengedipkan bahunya. "Kalian itu denger gak sih yang aku bilang?" lanjut Tian sembari menatap malas kepada Maya dan Alin secara bergantian.

Elnara dan Elana datang sembari menyimpan buku yang ia bawa ke meja dengan memasang wajah malas. "Kalian kenapa janjiannya disini sih? kita kan gak suka kalau disuruh ke perpus." Elnara menatap teman-temannya itu dengan wajah yang terlihat lemas.

Elana dan Elnara adalah kembaran yang sifatnya saling bertolak belakang. Memiliki wajah yang sama, selain wajah postur tubuh pun sama, yang dapat membedakan keduanya adalah rambut, jika Elnara memiliki rambut yang panjang dan Elana sebaliknya. Elana adalah kakak dari Elnara.

Walau memiliki banyak perbedaan, pertemanan mereka tidak pernah putus. Selalu saja ada penghubung antara mereka, entah itu sebuah kegiatan atau hanya rencana bermain saja.

"Ya terus kalian maunya dimana? di kantin?" tanya Tian sembari menatap anak kembar dihadapannya tidak percaya, sedangkan Elana dan Elnara ketawa kecil.

Maya meletakan jari telunjuknya di depan bibir. "Nanti dimarahin lagi sama Bu Wita."

"Guys, gue pernah denger di sekolah ini tuh katanya engga ada rangking pertamanya, lho!" Elnara memulai percakapan dengan suara pelan.

"Masa sih, El? kamu tau dari siapa kalau di sini engga ada rangking satunya?" Tanya Maya tak percaya. Elnara menatap Maya serius.

"Jadi, cuma ada rangking dua sama tiga aja, rangking satu gak ada?" tanya Elana heran sedangkan Elnara hanya menganggukkan kepalanya saja

"Terus kenapa engga yang rangking dua dijadiin rangking satu aja? gampang kan?" Alin yang tadi hanya membaca novel mulai tertarik dengan topik pembicaraan.

Elnara mengangkat kedua bahunya. "Entah, itu udah peraturannya sekolah dari dulu, sampe sekarang murid di sini gak tau alasan di balik semua itu," jawab Elnara. Memang sejak dari tujuh tahun yang lalu peraturan ini mulai diterapkan.

"Karena peringkat pertamanya gaib," celetuk Tian yang sedang berkutat dengan ponselnya. Mereka semua menatap Tian dengan kerutan di kening.

"Hah?! maksud lo gimana Tian? rangking satunya gaib? Kok bisa?" tanya Alin heran.

"Aku juga kurang tahu, tapi aku denger dari beberapa murid di sini sih gitu. Peringkat pertamanya gaib," jawab Tian, mengalihkan etensinya yang semula dari ponsel kepada mereka yang sedang menatapnya dengan penasaran.

Maya menegakkan duduknya. "Kita harus protes, nih," ucap Maya. Merapikan barang-barangnya yang di atas meja. Namun, pergerakan tangan Maya ditahan oleh Tian.

"Itu gak segampang yang kamu pikirin, May, apalagi ini udah peraturan sekolah dari dulu." Tian melepaskan cekalannya pada tangan Maya. Iya tidak setuju dengan usulan Maya, karena itu tidak mungkin bisa dikabulkan oleh pihak sekolah.

"Kita gak bisa diam aja dong!" Maya berucap sedikit berteriak, berdiri dari duduknya dan menggebrak meja. "Kalo gak kita siapa lagi yang bakalan mengubah ini? Sekolah ini gak bisa kaya gini terus. Aku butuh peringkat pertama itu," sambung Maya. Guru penjaga perpustakaan mendongak menyimak pembicaraan mereka, tak ingin mengganggu ... ia tahu mengenai kasus tujuh tahun silam. Namun, tak ingin berurusan kembali dengan kasus yang pernah terjadi dulu.

"Terus mau lo apa?" tanya Elana sedikit membentak. "sok-sokan ingin jadi pengaruh paling 'iya' di sekolah. Gue tau lo itu pinter, tapi gak segitunya juga kali!" lanjutnya terbawa emosi.

Maya menundukkan kepalanya. Apa salahnya, ia hanya ingin mengubah semua yang terasa ganjal di sekolah ini. "Apa salahnya, El?" Maya bertanya. mengangkat kembali kepalanya menatap tajam ke arah Elana. "Sekarang, siapa aja yang setuju ikut aku buat lurusin ini semua? Yang mau aja." lanjut Maya, menatap satu persatu temannya dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Gue setuju sama usulan Maya, gue ikut." Alin bersuara.

"Aku juga ikut. Kita bisa mencobanya." Tian bangkit berdiri. "Kalian berdua ikut gak?" tanya Tian menatap Elnara dan Elana bergantian.

Elnara menghela napas kasar. Menganggukkan kepalanya setuju. "Lo ikut, gue ikut," putus Elnara menatap Tian.

Maya tersenyum riang. "Kalo kamu gak ikut gak apa, El." Maya menatap Elana. sedangkan Elana mendengus geli dan menggelengkan kepala.

"Karena saudara gue ikut, gue juga ikut, May. Lagian gak ada juga yang bisa ngelawan keras kepalanya lo." Elana mendelik. Maya tidak merasa tersinggung, ia malah tersenyum geli.

"Ok. Kita akan ajuin protesan setelah ujian selesai, setuju?" yang lainnya hanya menganggukkan kepala, setuju atas usulan Maya.

***

Terima kasih, tunggu kelanjutannya, ya!

THE AMBITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang