4. SI PERINGKAT PERTAMA

90 26 51
                                    

Happy Reading

Pencet dlu bintangnya, eh!

Setelah perdebatan yang panjang akhirnya Maya dapat bernapas lega, begitu pun Alin, Elnara, Elana, dan Tian yang ikut andil dalam perdebatan ini. Ya, atas permintaan kepala sekolah untuk ikut rapat untuk rencana Peringkat pertama diadakan kembali Maya menyetujuinya dengan penuh semangat, temannya sempat protes atas keputusan cepat Maya. Terkecuali Alin, perempuan itu hanya menganggukkan kepala.

Maya berhasil meyakinkan para guru dan akhirnya peringkat pertama di adakan kembali.

Mereka berjalan menuju kelas Elnara dan Elana. Tidak ada siapa-siapa, tidak ada yang sekolah di minggu-minggu menjelang pembagian raport. Itu sering terjadi.

"Lo yakin, May? Gue takut terjadi suatu hal yang enggak diinginkan nantinya." Elnara menatap Maya meminta jawaban yang pasti, Elana mengangguk setuju dengan ucapan saudari kembarnya.

Maya menundukkan kepala, ia memang membutuhkan peringkat pertama itu. Bagaimanapun juga sekolah tanpa peringkat pertama itu sangat aneh. Maya hanya ingin memperbaiki keganjilan ini saja.

"Iya, aku yakin kok. Karena aku butuh peringkat pertama itu dan makasih kalian udah mau bantu aku. Untuk kedepannya, bisakah kita selalu bersama. Jika ada sesuatu yang tidak diinginkan seperti yang Nara bilang, kita hadapi sama-sama, oke? Kita pasti bisa," jawab Maya. Menatap teman-temannya yang memang sedang balik menatapnya.

"Lin, kamu setuju juga?" Tian memperhatikan Alin dengan seksama.

Alin hanya mengedikan bahu. "Gue juga sebenernya takut, tapi gue juga butuh peringkat pertama. Mau gimanapun juga, ini udah terjadi, 'kan? Kita sudah mendapatkan peringkat pertama itu kembali dan untuk pembagian raport nanti juga akan diumumin peringkat pertamanya siapa."

"Lo gak punya pendirian." Elana menggeleng tak percaya.

"Kata siapa?! Gue punya pendirian, gue ikutin langkah ini itu bukti gue punya pendirian, El." jawab Alin sembari menaruh kepala di atas meja, lemas. Elana mengedikan bahunya.

"Nara, lo gak apa, 'kan?" Elana memegang pundak kembarannya. Elnara menggeleng. Ekspresi khawatir jelas terlihat, membuat Maya dan Tian memandangnya.

"Tenang aja, gak akan terjadi apapun." Tian mendekat pada Elnara. Alin menegakan tubuhnya kembali, dan memandang Tian yang mendekat pada Elnara. Alin menyikut Maya dan menunjuk Tian.

Maya membisikan sesuatu pada Alin. "Mereka memang sejak awal udah deket, 'kan?" Alin yang mendengarnya hanya mengedikan bahu.

Elnara menggelengkan kepalanya, tersenyum lembut. "Lo gak usah khawatirin sesuatu yang belum mungkin terjadi, Ra." Elana mengelus kepala Elnara dan menuntunnya agar bersandar.

Alin mengangguk kepala, kembali menegakan tubuh. Maya tersenyum melihat keakraban si kembar.

Tian mendekat pada Alin dan menyenggol bahunya. Entah untuk apa Tian melakukannya, tapi itu berhasil membuat mood Alin memburuk. Tian tertawa, merasa senang atas kejahilannya. Maya menggelengkan kepala.

Jika memang penyandang peringkat pertama itu gaib, itu akan sangat mengasyikkan bagi Alin. Namun, berbeda dengan Elnara. Ia sangat penakut, terlalu mudah khawatir akan suatu hal. Setidaknya ada Elana yang melindungi Elnara, jangan lupakan Tian. Dari tatapannya jelas dia memperdulikan Elnara dari pada yang lainnya. Maya sendiri tidak perlu dikhawatirkan, berada di lingkar pertemanan yang seperti ini justru membuatnya aman.

Setelah lama perbincangan yang ringan dan juga saling melontar candaan. Mereka memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Jam sepuluh pagi mereka sudah di jalan pulang, Alin jalan kaki pulang bersama Maya. Rumah mereka satu arah. Sedangkan Tian sendiri, ia membawa sepeda motor. Elnara dan Elana menaiki angkutan umum karena jarak rumah mereka lumayan jauh.

THE AMBITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang