Ananta dan Jovita perang dingin selama di perjalanan pulang. Saat di parkiran Ananta tak menjawab pertanyaan kembarannya sama sekali. Dia acuh tak acuh.
"Nanta, lo masih marah sama gue?" tanya Jovita ragu dengan intonasi tinggi.
Ananta menggeleng. Dia terlalu malas meladeni Jovita untuk saat ini. Sekaligus pertanyaan di parkiran tadi membuatnya semakin tidak bergairah untuk sekadar bercengkerama dengan kembarannya.
"Nan, lo ketemu Shela lagi?"
Pertanyaan macam apa itu. Ananta masih berada di lingkup yang sama dengan Shela. Satu sekolah, jelas mereka masih bisa ketemu kapan saja. Entah itu di kantin, di kelas, di kantor, bahkan di WC sekalipun. Namun, bukan itu yang mejadi masalahnya. Nada bicara Jovita yang seakan-akan menyudutkan Ananta yang membuat gadis itu kehilangan minat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Motor mereka melaju pelan tak seperti biasanya. Ananta menikmati angin yang menerpa wajah dan terik matahari yang menyengat punggung tangan. Di belakang Jovita kepanasan, dia merutuk Ananta sedari tadi. Entah apa maksud dari kembarannya menyiksanya seperti ini.
Ananta melihat kiri-kanan pemandangan perkotaan yang mulai memasuki perkampungan. Tak ada lagi rumah mewah yang mereka lewati, sudah masuk pada ranah yang di kelilingi rumah para petani sawah dan karet. Hingga akhirnya memasuki area perkebunan karet dan durian. Jovita merapat ke depan, kepalanya terbenam di ceruk leher Ananta. Area ini adalah area yang paling dia benci.
Pada spion, Ananta terlihat tersenyum melihat kelakuan Jovita. Kemudian mempercepat laju motornya agar Jovita bisa kembali pada posisi nyamannya. Pohon-pohon karet di sepanjang jalan seakan melambai ke arah Jovita saat gadis itu mencoba memberanikan diri menghadap ke depan, akibatnya dia meremas pinggang Ananta dan kembali membenamkan kepalanya ke posisi sebelumnya.
"Jov, pinggang gue," keluh Ananta kesakitan, menyentuh punggung tangan Jovita lembut. Jovita sadar dan mengendurkan pegangan tangannya.
"Eh, s–sorry," jawab Jovita dengan suara bergetar.
Ananta menarik habis pedal gas motornya. Mereka melesat di antara pengendara motor dan mobil begitu saja. Jovita bernapas lega, setidaknya taruhannya adalah nyawa bukan mentalnya. Hingga di detik selanjutnya, Ananta nekat memotong truk besar dengan muatan cukup berat. Sedangkan di depannya mobil pariwisata tengah melaju kencang.
Jovita memejamkan mata ketakutan, tingkah Ananta sungguh absurd untuk dia maklumi. Sopir mobil pariwisata tersebut mengklakson dengan wajah kesal. Jovita bisa melihat itu dengan jelas. Di depan Ananta hanya mengelus dada sambil tertawa kecil. Gadis gila adalah panggilan yang pantas untuk dirinya.
"Nan, lo kalo mau bunuh diri gak usah ngajak gue juga." Jovita memukul helm Ananta cukup keras setelah menyelesaikan ucapannya.
"Sorry, sorry. Gue kebelet berak soalnya. Pegangan lagi deh, bentar lagi kita sampe," jelas Ananta cengengesan.
Jovita tak menjawab, tubuhnya tertarik ke belakang saat Ananta kembali menarik habis pedal gas motornya.
Tiba di rumah, Jovita turun dengan keadaan lemas bukan main. Jovita berpikir dirinya akan mati dengan sia-sia setelah hampir dua kali mereka akan diserempet mobil parawisata. Tentu saja biang keroknya Ananta. Gadis gila pembawa motor ugal-ugalan.
Jovita mabuk karena itu. Dia buru-buru masuk ke rumah dan menuju kamar mandi. Memuntahkan seluruh isi perutnya yang sedari tadi berkecamuk selama di perjalanan. Jovita berharap ini adalah kali pertama dan terakhir untuknya.
Dari arah pintu, Zaila dan Ananta tercengang melihat Jovita berlari masuk begitu saja. Tatapan sang ibu seakan menusuk hulu hati, Ananta hanya menanggapinya dengan senyuman kecil. Detik kemudian, Jovita keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat pasi. Ananta menatap keheranan.
KAMU SEDANG MEMBACA
For ANANTA
Teen Fiction18+ Demi ending yang bahagia, kau perlu menderita di awal cerita -Ananta Alitza Hari demi hari ditemani oleh bayang-bayang kejadian yang tak diinginkan, suara-suara aneh berbisik di telinga bagai alunan musik horor. Mereka berharap, satu hari saja...