Bab 12

24 13 3
                                    

"Ananta! Ananta!" teriak Jovita cemas.

Wajah Jovita pucat saat mendapati kembarannya tidur dalam posisi bersimbah keringat, urat leher menegang, dan tangan terkepal kuat. Dia mengguncang tubuh Ananta berharap anak itu segera bangun. Bukannya bangun, Ananta malah mengigau membuat bulu kuduk Jovita meremang.

"Bu! Ananta, Bu!" Teriakan Jovita menggelegar, dia tak ingin sesuatu terjadi pada saudara kembarnya. Walaupun mereka sering bertengkar untuk masalah sepele, tetapi Jovita tetap menyayanginya lebih dari apa pun.

Zaila muncul dari sebalik pintu dengan napas memburu. Kepanikan di hatinya tersirat saat matanya membola melihat keadaan menyedihkan Ananta. Bantal yang ada di kepala Ananta sudah basah oleh keringat, begitu juga dengan kerah seragam sekolahnya. Jovita membuka satu persatu kancing seragam Ananta, mengipas tubuh gadis itu dengan tangannya sendiri. Menetralisir hawa panas yang mungkin Ananta rasakan.

Sebisa mungkin Zaila menahan diri. Ini kejadian yang kedua kali Ananta tidur mengigau dengan tubuh menegang. Dia tak tau apa yang selama ini Ananta pendam hingga terbawa mimpi. Wanita itu menepuk-nepuk kedua pipi Ananta secara bergantian, lantas mengguncang tubuh kurus sang anak.

Ananta membuka matanya dengan napas tertahan. Air mata Ananta menetes ke samping saat dia menoleh ke arah sang ibu, Zaila mengusapnya dengan cepat.

'Mimpi? Semuanya hanya mimpi?' batin Ananta, dadanya turun naik mengatur napas yang memburu. Zaila segera mendekap kepala Ananta sembari mengelus pelan kepala gadis itu.

"Bu, semuanya hanya mimpi?" tanya Ananta pelan, hampir tak terdengar. Terdengar samar-samar oleh Zaila, sedangkan Jovita hanya melongo.

Ananta berusaha duduk dengan tubuhnya yang lemah, Zaila bergerak cepat membantu. "Mimpi? Kamu mimpi apa, Nak?" tanya Zaila penuh kesabaran, menyeka rambut Ananta yang hampir menutupi sebagian wajah sang anak.

Zaila tak bisa bertanya dengan tergesa-gesa. Dia belajar dari kejadian sebelumnya, saat Ananta berhenti berbicara padanya dalam kurun waktu cukup lama sebab tertekan diberikan pertanyaan beruntun yang mendesak. Zaila tak ingin hal itu terulang lagi.

"Bu, bisa jadi Ananta mimpi kejadian 'Hari Senin' waktu itu. Soalnya dia sensitif banget kalo udah bahas itu," bisik Jovita di belakang telinga Zaila. Sang ibu melirik Ananta yang kini menatapnya nanar.

Zaila meletakkan tangannya di kedua paha Ananta, menatap mata sang anak lekat-lekat. "Ananta, katakan pada ibu. Kamu bisa ceritain sekarang mimpinya atau nanti setelah kamu tenang?" tanya Zaila lembut, tangan kananya kembali menyeka rambut yang menutupi wajah Ananta dan menyelipkannya ke belakang telinga gadis itu.

Ananta menggeleng. Terlalu lemas untuk sekadar menjelaskan apa yang terjadi pada sang ibu. Zaila tersenyum kecut, dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Ananta tak pernah mau menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Wanita itu mengelus pucuk kepala Ananta sebelum akhirnya dia keluar dari kamar sang anak.

Jovita duduk di kasur Ananta saat sang ibu telah menghilang di sebalik pintu. Menoleh ke arah Ananta yang kini menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.

"Gue boleh nemenin lu di sini 'kan?" tanya Jovita sedikit ragu.

Jovita tak tau harus bersikap bagaimana di depan Ananta. Entah sejak kapan, dinding pembatas tercipta di antara mereka. Dinding tersebut membuat kerenggangan yang Jovita sendiri tak tau cara mengatasinya. Meminta maaf untuk hal apa yang tak disukai kembarannya, dia tak tau akan hal itu. Sisi dirinya yang mana yang telah membuat Ananta membuat batasan dengan dirinya.

Melihat kondisi Ananta yang membuatnya prihatin, semakin membuat Jovita merasa bersalah. Sejauh mereka bertengkar dan berbaikan lagi setelah itu. Baru kali ini Jovita merasa sangat bersalah dan ... canggung untuk sekadar menanyakan kondisi Ananta saat ini.

Ananta memperhatikan setiap perubahan raut wajah Jovita dengan intens. Keegoisan dan sedikit rasa bersalah, hanya itu yang terbaca olehnya. Dia tau, masalah di hidupnya hanya dirinya yang akan menanggung, tak akan ada seorang pun yang benar-benar peduli. Namun, setidaknya mereka cukup diam dan tak perlu mengatakan sesuatu yang akhirnya membuat Ananta tertekan.

Tatapan dengan linangan air mata dari Ananta dibalas dengan tatapan tanda tanya oleh Jovita. Perlahan, tangan kanan Jovita mendarat di atas paha kiri Ananta.

"Nan, kenapa lo natap gue segitunya?" tanya Jovita khawatir, suaranya bergetar.

Ananta ingin bercerita, tapi untuk saat ini Jovita bukanlah orang yang tepat. Dia tak lagi percaya pada saudara kembarnya, sudah terbayang olehnya bila nanti dia bercerita. Jovita hanya akan beradu nasib, memberinya nasehat dan ceramah tanpa diminta, serta merendahkan dirinya yang terlalu lemah. Ananta terbawa suasana hingga menggigit bibir bagian dalam, dia meringis kesakitan.

"Gue—" Ananta tak melanjutkan ucapannya. Dia rasa Jovita tak perlu tau alasan kenapa dia memberikan tatapan seperti ini. Jovita juga tak perlu tau alasan mengapa Ananta tak lagi mau bercerita padanya.

"—mau sendiri," lanjut Ananta. Jovita menggeleng kuat, dia tak akan menuruti permintaan Ananta kali ini.

"Gak! Lo orangnya nekat, Nan. Gue takut lo ngelakuin yang aneh-aneh," tolak Jovita membuang muka, menghindari tatapan tajam Ananta padanya.

Ananta geram, air matanya sedikit lagi tak terbendung. Namun, Jovita malah menolak permintaannya mentah-mentah.

"Lo tau apa tentang gue, Jov?! Terserah gue mau ngelakuin apa aja, lagian lo gak pernah benar-benar peduli!" cerca Ananta kesal, satu tetes air matanya berhasil lolos. Pertahanan Ananta roboh.

Jovita syok mendengarnya. "Nan, lo ...." Jovita menghentikan ucapannya, kembali memikirkan perkataan Ananta.

"Lo gak terima? Iya?! Terserah lo mau terima atau gak, mau lo kesel atau marah, terserah lo!" racau Ananta. Jovita semakin syok.

Jovita seakan menolak bahwa di depannya ini bukanlah Ananta. Jovita yakin, kembaran yang dia kenal tak akan berbicara seperti ini padanya. Namun, benarkah dirinya tau semua tentang Ananta?

"Dan sekarang, gue minta lo keluar." Nada suara Ananta melemah, tubuh Jovita tersentak ke belakang. Jovita dilema apa dirinya harus pergi dan membiarkan Ananta sendirian dengan kondisi kacau. Jika dia tak pergi, Jovita takut Ananta akan mengamuk padanya.

Jovita termenung, memikirkan bagaimana caranya menyikapi Ananta yang sedang kacau dan diselimuti kekecewaan. Tak bisakah dia mendapatkan kesempatan kedua atau setidaknya untuk hari ini saja Jovita menemani Ananta.

"Gimana pun lo nyuruh gue buat keluar dari kamar ini, gue gak akan pergi," jawab Jovita pelan, berharap hati Ananta melunak.

Muak. Ananta muak melihat ekspresi Jovita. Jika dirinya tak punya hati, Ananta bisa saja meludahi wajah kembarannya ini. Terlalu sesak dan sakit bila ditahan untuk jangka waktu yang lama. Ananta masih menahan diri, tenaganya habis mengeluarkan kata-kata yang tak didengarkan Jovita sama sekali.

Satu fakta baru Ananta temukan tentang Jovita. Keras kepala. Sekeras apa pun dia berusaha, Jovita tak akan mengindahkannya sama sekali. Dia akan tetap pada pendiriannya. Ananta benci itu.

"Berisik!"

Jovita tak melawan ucapan Ananta lagi. Dia diam sembari tersenyum kecil. Mengambil posisi kasur di dekat dinding dan rebahan. Ananta menatap malas ke arahnya.

Ananta turun dari kasur. Membuka satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya, hingga tersisa hotpans dan tanktop hitam. Ananta menunduk memunguti pakaiannya dan melemparkannya ke keranjang tempat kain kotor. Saat itu juga, Jovita melihat tangan dan kaki Ananta tertempel oleh plester. Lebih tepatnya di bagian lengan kiri, kedua betis, dan paha gadis itu.

Detik kemudian, tubuh Ananta menghilang ke dalam kamar mandi.

_____

Telah direvisi
Kami, 01 Agustus 2024

For ANANTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang