Bab 3

41 13 4
                                    

"Ananta Alitza!"

Akhirnya giliran Ananta pun tiba. Melangkah tegas dengan hati ragu, dia tak bisa berbohong bila saat ini dirinya sangatlah gugup. Jantung berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ananta menelan ludah menatap anak-anak lain yang kini sedang saling berbisik melihat penampilannya. Ingin mengadu, tetapi pada siapa. Dia melirik Calista berharap anak itu peka.

"Hai, Semuanya! Kenalin gue Ananta Alitza, biasa dipanggil Nanta. Umur gue 12 tahun. Emm, gue hobi nulis dari SD dan kali ini gue mau bacain puisi dari Sastrawan Favorit gue. Oh, iya, sebelum itu ada pertanyaan?" Ananta mengutuk dirinya. Entah keberanian dari mana dia malah mengajukan pertanyaan untuk anak kelas. Tentu banyak yang akan bertanya. Pasalnya Ananta salah seragam dan kemungkinan memancing anak-anak kelas untuk merundung.

Mereka saling tertawa kecil selepas melirik penampilan Ananta. Dia tak bisa menyalahkan anak-anak kelas akan hal itu. Ananta memaklumi, tetapi batinnya belum siap untuk mendengar cercaan tentang dirinya. Dia menghela napas saat melihat gerak-gerik seorang siswa seperti ingin bertanya.

'Oh, Tuhan! Aku ingin menghilang,' rutuk batinnya.

"Lo yakin anak sekolah ini? Enggak nyasar, kan? Hahaha!!" Siswa tersebut tertawa terbahak-bahak, anak-anak lain juga ikut tertawa.

"Baru juga hari pertama, udah salah seragam aja. Niat sekolah gak, sih?" sahut seorang siswi pada bangku barisan depan sebelah kiri Ananta.

Pertanyaan dari siswi itu benar-benar membuat Ananta merasa rendah diri. Namun, Ananta berusaha agar tidak putus asa. Tidak mungkin dirinya sudah berdiri dan malah memilih kabur, lantas duduk begitu saja. Dia masih punya malu untuk itu. Ananta tetap melanjutkan, hanya memberikan senyuman ramah walaupun hatinya terasa sakit.

"Apa-apaan kalian ini, baru juga masuk sekolah, tapi udah sok iya banget. Selama masih MPLS enggak ada ketentuan seragam, selama masih seragam sekolah. Lagian Ananta udah minta izin waktu di barisan dan kalian berdua tolong jaga lisannya!" ujar Idrus dengan tegas.

Mereka terdiam tak berkutik. Semua tertunduk menatap meja masing-masing, tak berani menatap ke depan. Suara Idrus yang lantang juga membuat jantung Ananta semakin berdegup kencang. Dia tak biasa dengan suara keras.

Calista melihat hal itu. Perubahan raut wajah Ananta setelah mendengar suara lantang ketua OSIS tersebut. Dia khawatir dan gelisah melihat Ananta yang mengusap dadanya pelan, Calista tau Ananta sedang menenangkan dirinya.

"Hey, Nan! Look at me, i'm here, okay. Keep going!" serunya, Calista memberikan sugesti.

Ananta menatap Calista kosong, perlahan tubuhnya kembali normal. Dia merasa aman dan lebih tenang. Kebisingan tidak ada lagi. Idrus mengintruksi Ananta untuk kembali melanjutkan kegiataannya.

"Baiklah, karena pertanyaannya lebih ke oot, gak gue jawab, gue bakal lanjut penampilan hobi. Puisi "Untuk Ayah" by Pramoedya Ananta Toer," jelas Ananta sembari membuka lipatan sehelai kertas, menarik napas seraya mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas.

Jantungnya kembali beedegup kencang. Namun, Ananta tak panik sama sekali. Dia tersenyum terlebih dahulu.

"Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah
Pulang ke tempat teduh matamu
Berenang di kolam yang kau beri nama rindu

Baru saja selesai dengan bait pertama, air mata Ananta berlinang, dia berusaha menahannya agar tak menetes.

Aku ingin kembali ke rumah, Ayah
Tapi nasib memanggilku

Ananta menarik napas panjang, sekali lagi berusaha untuk tak menangis. Bait demi bait puisi sudah dilalui, hingga pada dua bait akhir, air matanya jatuh dan Ananta reflek menunduk.

For ANANTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang