Bab 11

25 13 2
                                    

Embusan angin pukul 05.00 dini hari seakan menusuk tulang. Ananta sudah siap untuk diantar ke rumah mertua kakak tirinya. Menunggu sang ayah belum juga bangun saat Zaila membangunkannya. Jawabannya selalu saja, "lima menit lagi, Nak." Sedangkan waktu tempuh tempat tinggal mereka dengan rumah mertua kakak tirinya—dekat dengan sekolah—sekitar hampir satu jam.

"Sayang, bisa bantu antar Ananta?" celetuk Yaqira—kakak tirinya—saat melihat sang suami keluar dari kamar menuju dapur.

Ananta mematung menatap sang ibu. Antara setuju atau tidak dengan keputusan sang kakak. Zaila mengangguk seolah menyuruh Ananta untuk menerima bantuan kakak iparnya. Eka, kakak iparnya mengeluarkan motor dengan tenang. Kemudian masuk mengambil jaket tebal dan kunci motor.

"Kenapa gak sore kemarin balik ke rumah ibu?" tanya Eka datar sembari menghidupkan motornya—Ananta memanggil orang tua perempuan dari Eka dengan panggilan ibu juga—gadis itu menatap Zaila agar sang ibu yang menjawab pertanyaan pria di hadapannya ini.

"Ibu yang nyuruh dia balik pagi," jawab Zaila singkat. Ananta hanya menyimak.

Setelah motor dipanaskan cukup lama, Ananta berpamitan dan segera naik ke atas motor. Berpegangan pada bahu kakak iparnya. Mereka melaju pelan membelah gelapnya jalan, sedikit pun belum ada cahaya. Lampu rumah warga di sepanjang jalan sama sekali tak ada yang menyala. Benar-benar gelap.

Sedikit demi sedikit, mereka mulai memasuki wilayah persawahan. Di mana sisi kanan dan kiri jalan hanya ada sawah, sekilas Ananta melihat bayang putih di kejauhan sana. Matanya terpejam menahan takut, dia tak mengadu pada kakak iparnya sama sekali. Ananta tak ingin dicap lemah begitu saja.

Detik kemudian, area perkebunan karet yang lebih mengerikan dari area persawahan. Ranting-ranting kayu yang di soroti lampu motor seakan melambai ke arah Ananta. Kakinya dingin bukan main, entah hanya firasat Ananta saja, dia merasa ada tangan dingin yang menyentuh kakinya merambat hingga ke betis.

Bulu kuduk Ananta meremang. Gadis itu masih bertahan pada pendiriannya, dia tidak akan mengadu. Beralih pada bagian pinggang hingga dada, Ananta merasa ada sesuatu yang menekan tubuhnya di dua arah, dia merasa terjepit dan sedikit demi sedikit mulai terasa sesak. Angin mengembus pelan lehernya yang terbuka. Ananta merinding bukan main.

Bulir keringat mulai muncul di dahi, Ananta menyeka dengan perasaan gelisah. Eka di depan sana tak berbicara sedikit pun. Fokus menatap jalan yang ada di depannya.

Area perkebunan karet habis di persimpangan, sedikit lagi mereka sampai di bundaran. Wilayah yang disediakan pencahayaan memadai. Ketakutan Ananta teralihkan saat Eka tiba-tiba berhenti tepat di bawa lampu jalan. Pria itu turun sembari mengusap-usap kedua bahunya. Ananta tercengang.

"Dik, ganti posisi mau enggak? Abang kedinginan," pinta Eka. Ananta bengong sesaat, kemudian mengangguk tanpa sadar.

Seulas senyuman terlihat di wajah Eka, Ananta beringsut ke depan mengambil alih. Motor mulai melaju pelan, Eka mengambil tas Ananta dari pundak gadis itu tanpa meminta persetujuan. Ananta bagaikan gadis lugu dan bodoh hanya menurut. Detik kemudian, Ananta mulai merasakan kejanggalan.

Tangan Eka melingkar sempurna di perutnya. Mata Ananta membola, sejurus dengan itu serangan panik datang membuatnya kesulitan bernapas, tubuhnya kaku, lidahnya kelu. Ananta kesulitan untuk berbicara, dia hanya bisa menggeleng ribut saat kepala Eka berada di bahu kanannya.

"Jangan bilang siapa-siapa, ya." Suara Eka tepat di telinga Ananta, dia merinding dengan mata memanas.

Ananta mengutuk dirinya yang tidak bisa melawan sama sekali. Pikirannya terlalu kalut, dia tak bisa tenang, panik bukan main. Air matanya sebelah kanan berhasil lolos membasahi pipi. Ananta menjerit di dalam hati, menyesal menerima bantuan abang iparnya yang biadab ini. Tubuhnya ternodai.

Tubuh Ananta seakan menjadi boneka bagi Eka. Semua ucapan dari mulut pria bajingan itu tak ada yang bisa Ananta tolak. 'Apa yang terjadi? Kenapa aku gak berani ngelawan sama sekali? Apa yang aku takutin dari pria bajingan ini?' batin Ananta saat dirinya menurut ketika Eka menyuruhnya berbelok ke arah kontrakan kakak tirinya.

'Ayah, tolong! Ananta takut,' jerit batin Ananta, air matanya luruh membasahi pipi. Hanya itu yang bisa dia lakukan, lewat perantara sang ayah yang sudah tiada berharap Tuhan menolongnya saat ini juga.

Tubuh Ananta melemah menuruti ke mana Eka menarik paksa dirinya. Pria bejat tersebut membawa tubuh Ananta masuk ke dalam kamar mandi tak terpakai yang letaknya di luar kontrakan. Mata Ananta membola, kepalanya menggeleng ribut mengisyaratkan agar Eka tidak menyentuh tubuhnya.

"Sebentar aja, Dik. Abang cuma mau megang aja, gak usah dibuka." Mendengar perkataan Eka tangisan Ananta pecah tanpa suara, tangan kecilnya mendorong dada Eka yang menempel tanpa jarak. "Oh, iya. Janji ya jangan bilang siapa-siapa! Mau ke kakakmu, ibu, atau siapa pun itu! Awas aja kalo kamu sampe berani!" ancam Eka, mencengkeram bahu Ananta kuat.

Ananga meringis kesakitan, ingin rasanya dia berteriak meminta tolong. Namun, Ananta bisa apa saat tenggorokannya seakan tercekik oleh rasa paniknya sendiri dan terbungkam oleh tangan kekar Eka.

"B–bang, s–sadar ... aku adik iparmu." Suara isakan Ananta berhasil lolos saat Eka melepaskan bekapan mulutnya. Eka yang tadinya sedang mengendus leher dan pundak Ananta terdiam. Tangan kekar itu tak lagi menggerayangi tubuh Ananta.

Lima belas menit berlalu, tubuh Ananta disentuh dari atas hingga bawah. Untungnya, Eka hanya menyentuh tak sampai mengambil mahkota Ananta. Gadis itu terduduk lemas menyentuh tubuhnya dengan pipi banjir air mata. Dia merutuki keadaannya, Ananta merasa jijik dengan dirinya saat ini.

Eka menatap Ananta yang terduduk di tanah, lantas beralih menatap tangan kotornya yang telah menyentuh tubuh adik tiri dari istrinya. Perasaan bersalah tiba-tiba muncul. Eka berjalan mendekati. Ananta menggeleng ribut dengan tangis menjadi-jadi, samar-samar Eka mendengar Ananta mengadu pada ayahnya.

"Ayah ... tolong ...!" lirih Ananta, detik kemudian isak tangisnya terdengar.

Eka seakan tertampar. Hatinya teriris melihat tatapan nanar Ananta. Dia baru saja ... melecehkan anak yatim.

"Dik, abang ...." Eka tak melanjutkan kalimatnya, dia merasa bersalah. Melihat kondisi Ananta yang kini perasaannya sudah pasti hancur karena ulahnya. Eka mengutuk dirinya.

"Ayo, abang antar." Ananta tidak menyangka abang iparnya hanya mengucapkan hal itu, bukan permintaan maaf yang dia dengar. Namun, jika Eka meminta maaf pun, Ananta tidak akan sudi memaafkan pria bejat ini begitu saja.

Ananta menopang tubuhnya dengan tangan yang bergemetar hebat. Menghiraukan uluran tangan dari Eka. Dia tak ingin disentuh lagi. Dia muak dan benci. Gadis itu berjalan tertatih ke arah motor. Angin berembus pelan menerpa wajahnya yang basah, terasa dingin.

Eka menyusul dari belakang. Ananta duduk dengan jarak yang tidak masuk akal, dia duduk di ujung jok motor. Itu lebih baik. Jika seandainya kunci motor ada padanya, Ananta memilih untuk kabur meninggalkan pria bejat tersebut.

'Tuhan, aku telah dinodai untuk kedua kalinya dengan pelaku yang berbeda. Tolong, aku harus bagaimana?' Ananta membatin menatap kosong punggung Eka. Ananta putus asa menerima takdir yang tak pernah berpihak padanya.


_____

Telah direvisi
Kamis, 01 Agustus 2024

For ANANTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang