3

183 9 2
                                    

"Aman?" Jeongwon menatap was-was suasana pelabuhan dari dalam jendela mobil.

"Tuan muda santai saja."

Pria di kemudi itu santai menata rambutnya yang klimis sebelum mencabut kunci. "Jika ada penjaga pun pasti terkendali asal ada uangnya."

"Ada uang ada kawan." Fakta yang sulit ditampik, pria itu menoleh sesaat ke Jeongwon yang duduk di kursi belakang.

Kemudian membuang muka pula ke luar jendela. "Ini pelabuhan baru. Jadi tuan mungkin masih asing dengan tempat ini."
.
.
.
.
Ceklek

Selang beberapa waktu atas paparan singkat menyangkut pengoperasian dari Feri, ganggang pintu mobil tersebut dibuka.

Tidak ada pilihan lain jika sudah disini.

Jeongwon menjadi yang pertama membuka pintu mobil sedan warna hitam itu, walau kaki tampak berat hanya untuk beranjak dari kursinya.

Pak Feri, asisten itu juga serta-merta bangkit keluar dari mobil, berdiri seraya membenarkan kacamata hitamnya lebih dulu di spion.

Suara ketukan kayu sepatu boots Feri nyaring menyusuri tanah. Pria gagah itu berhenti setelah tangguh berpijak di samping jeongwon.

Kaki-kaki itu berdiri memandangi setiap sudut di depannya.

Hirup pikuk pelabuhan malam ini cukup dingin. Walau raga itu sudah sepenuhnya keluar dari mobil sedan berwarnakan hitam, tapi hati salah satunya seperti takkan mungkin pernah tentram.

Mereka berhenti sesaat, mengamati sekeliling perairan yang tepiannya masih rimbun oleh dedaunan-dedaunan pohon.

Bayangan cahaya bulan terlihat menyoroti perairannya-hampir menyatu dengan ujung panggung kayu yang berfungsi sebagai pijakan. Disamping panggung kayu itu ada pula kapal tak terlalu besar yang akan menuntun mereka pada tempat sesungguhnya.

"Pelabuhan tikus," Feri tersenyum miring.

"Menarik."

Lalu berjalan dengan langkah panjang.

Tidak sadar lebih dulu meninggalkan Jeongwon yang ada dibelakang. Kurang menyadari keberadaan anak itu yang entah sudah mengikuti atau belum. Tapi yang pasti. Sungguh, langkah saja masih terasa ragu.

Meskipun diambang rasa takut.

Semua tetap akan tiba, disaat kaki mereka menginjak papan kayu diatas permukaan air yang sekitarnya di tumbuhi rumput ilalang.

Sebelum nahkoda memberi intruksi bahwa kapal siap dinaiki saat berdiskusi bersama Feri, anak itu menengok kearah air. Suara mereka bagai angin lalu, angannya terlalu tenggelam akan lamunan panjang-ibarat memiliki dunia sendiri ditengah isi kepala yang kosong. Menatap bayang wajahnya sendiri yang pedih.

𒆜⁣𒆜𒆜

Ceysen : EH RUM, LU GAUSAH SOK CANTIK DEH~~~DEPaN YUSOO!!!!

Sinta : LUU GAUSAH Pick Me GIRL DEH~~~

Ceysen : LU TAu NgGAK~~~ PeRLAKUaN LU TUh KAYAK PICK ME BANGeT*

Sinta : NO~~RAK~~!!!!

Kalau melerai dituduh pencitraan maka pilihan terbaik Bella saat ini adalah menyimak, takut dikucilin lagi oleh circle-nya. Sedangkan Arum, justru enteng menertawai pelan tingkah freak mereka.

Bagaimana tidak? Suara mereka saja bersahut-sahutan seperti telah dibuat dialog stand up comedy yang mampu mengundang gelak tawa bagi pendengarnya.

Timbul kekesalan, Ceysen yang mendengar suara lirih tawa Arum, nyaut seperti tiang listrik tersambar petir.

"EhHH!" Jika kalian pernah melihat tante-tante ngelabrak orang tak bersalah, mungkin begitulah nada sautan Ceysen saat ini. "EmaNG~~ aDA YaNG LUCU yAA**?GUE INI SerIUSS LHOOO!! JaNGAN BuAT GuAA MARAH** kALOk LO GaK mAU NANggUNG akIBATNYA!!!"

Business Connection Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang