Bagian 7

92 3 2
                                    

"bukan gitu Ar, kita..."
"apa? Kita apa? Kalian tuh sama kaya orang tua gue. Gak pernah ngertiin gue. Gue cuma butuh kebersamaan tapi gada yang peduli. Mati aja sekalian!"
"ARCHI!" Ilham membentak membuat gadis ini menunduk takut.

"manja tau loe kalo cuma pengen mati gara gara beginian! Loe udah gede Ar, belajar menyikapi semua yang terjadi di hidup lo dengan dewasa. Kalo kaya gini aja loe pengen mati gimana entar-entar? Hidup sulit kalo loe buat sulit Ar, jalani apa yang ada dan syukuri semua!"

"makanya. Makanya jangan jauhin gue. Gue bukan elo atau Reza yang kuat sama hidup. Gue tuh cengeng, manja. Gue gak bisa jagain diri gue sendiri, gue gak mau. Gue maunya kalian jagain gue, bukan jauhin gue"

***

Dicky menepikan motornya di halaman sebuah villa tua berlatar belakang perkebunan teh. Gue turun dari motornya lalu ngelepas helm yang gue pake.
"gue baru tau loe punya villa di puncak" kata gue sambil melihat-lihat sekitar. Emang bener ya kata orang? Pemandangan di sini tuh lebih sejuk daripada di kota

"villa kakek sama nenek gue sih, cuma setelah mereka wafat kuncinya di kasih ke gue. Masuk yuk!" Dicky menggandeng tangan gue untuk masuk ke dalam. Suara decitan pintu terbuka menggema saat Dicky membuka pintu utamanya.

"di sini gak ada yang urus Ky?" tanya gue sambil melihat langit-langit. Dicky menggeleng.
"ada, tapi datengnya seminggu sekali cuma buat ngerawat tanaman sama bersih-bersihlah" gue mengangguk lagi.
"nah sekarang mau langsung caw atau kita di sini dulu?" tanya Dicky balik.

Dia melangkah ke ruang tengah lalu menyandarkan tubuhnya di soffa depan tv. Gue menggeleng lalu duduk di sebelahnya.
"di sini aja Ky. Gue masih cape duduk di motor tadi"
"okey lagian masih panas juga" gue mengangguk setuju.

***

Rafael mengusap wajahnya. Sudah pukul tiga sore tapi, ia belum menemukan cara untuk mendapatkan 35 juta lainnya untuk operasi sang kakek. Penyumbatan otak.
"gue cari duit kemana lagi? Jual rumah? Itu gak mungkin, tinggal di mana nantinya gue sama kakek dan Rangga?"

"gimana?" Rafael mendongak menatap Rangga yang kini menepuk bahu kanannya.
"dapet. Tapi, cuma 15 Ngga dan itu nanti malem" jawab Rafael lesu. Rangga menarik nafas lalu duduk di samping sepupunya itu.
"terus darimana kita dapet yang 35 jutanya?" tanya Rangga bingung.

"gue bingung Ngga. Tabungan gue udah gue simpen buat sehari hari kita sama kakek. Kalo kita pake pun gak akan nutupin" ujar Rafael. Hening. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing sampai akhirnya Rangga buka suara.
"jual ferrari gue!"

***

"sampai!" Archi berkomentar saat mobilnya tiba di depan kontrakan Reza dan Ilham.
"thanks ya Ar. Kayanya gue harus turun duluan. Perut gue udah demo" Ilham tersenyum pada Archi lalu membuka pintu belakang. Saat di luar, Ilham melambaikan tangannya.

"jangan muna deh loe sekarang bang" Ilham membatin lalu tersenyum dan berbalik menuju rumah kontrakannya. Sementara di dalam mobil Archi, tercipta keheningan antara Reza dan Archi. Keduanya sama sama diam tanpa berniat membuka obrolan. Basi!

***

"Dicky yang itu merah banget" gue berlari mendahului Dicky mendekati sebuah strawberry yang matang dan menjuntai. Dicky hanya tersenyum sambil mengikuti langkah gadis ini. Sebenarnya dia alergi dengan yang namanya buah, tapi kali ini...

"loe mau gak?" gue berbalik lalu menyodorkan sebuah strawberry yang berhasil gue petik. Refleks, Dicky memundurkan wajahnya dan menggeleng.
"gak, gak! Loe aja gih" tolak Dicky.
"idih orang enak juga. Cobain gih" gue memaksa Dicky tapi, tetap dia menutup mulutnya.

Welcome To Our LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang