Awan itu, terbelah di langit malam. Memuntahkan cairan yang dirindukan bumi untuk kesuburan dalam hidupnya. Sang raja kegelapan terus berkedip tajam menghasilkan kilatan yang membuat bergetar semesta. Dibarengi dengan lolongan sang penguasa angkasa yang membuat bulu kuduk terangkat. Malam ini ada yang menangis dan marah secara bersamaan.
Alev turun dari motor di depan sebuah toko bunga. Panah bening malam ini tidak bisa ia seberangi dan demi keselamatan diri ia rela menunggu sampai amukan alam itu berhenti.
Belum juga bokongnya menyentuh lantai toko sudah ia angkat kembali. Ia menengok ke kanan dan ke kiri tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada dirinya dan lampu toko yang sedikit remang. Tapi, dari mana asal suara tangis yang sedang di dengarnya.
Alev menggaruk-garuk kupingnya, tapi tak ada air hujan yang singgah di dalamnya. Tangis itu semakin menjadi kedengarannya sangat pilu. Setiap kilat dan Guntur menyapa bumi pasti tangis itu akan semakin keras disertai dengan jeritan ketakutan.
Alev berdehem pelan. “Malam Selasa,” gumamnya saat mengingat hari apa malam ini. “Gusti ya Rabbi,” ujarnya dengan nada yang bergetar. “Hantu bukan. Mana gue nggak hafal Yasin.”
Di sudut toko, tepatnya di dekat tanaman hias yang menjulang tinggi dengan daun-daun yang menjuntai ramai bergerak-gerak seperti ada yang menggoyangkannya. Angin tak begitu kencang dan alev cukup tahu bagaimana cara angin kala menyapa pepohonan. Bukan begitu cara goyangnya.
“Bismillah, ayat kursi gue hafal.” Satu langkah, dua langkah, hatinya makin tak karuan. Napasnya menjadi tersenggal. Jika makhluk halus maka akan ia biarkan, tapi kalau manusia biasa akan ia ajak ngopi.
“Abang!” jerit wanita itu sambil menutup kedua telinganya sesaat setelah petir menyambar.
“Rea?” tanya Alev mengenali suara yang menjerit itu. Bukan jawaban yang ia dapatkan, tapi suara isakkan yang makin menjadi.
“Rere?” sekali lagi dan kali ini ia dapati wajah yang acak-acakan, hidung merah, mata sembab dan rambut yang sudah semrawut ke sana kemari.
Alev lantas berjongkok dan membawa punggung Rea kepelukannya. Ia biarkan Rea menangis sampai membasahi bajunya. Sementara dirinya terus mengelus pelan punggung yang bergetar hebat itu. “Apa yang terjadi? Kenapa bisa sehancur ini?” tanyanya pelan.
Dirasa sakit dihatinya dan juga bayangan yang melayang di pikirannya sedikit melemah, Rea mengangkat wajahnya. Ia dapati senyum menenangkan Alev.
“Yuk!” ajak lelaki itu sambil mengangkat perlahan tubuh Rea. “Mau digendong?” Rea menggeleng. “Ok, gue pangku aja, ya.” Tanpa persetujuan Rea, alev mengangkat tubuh Rea ala bridal style.
Rea pasrah, ia sembunyikan wajah kacaunya di dada Alev. Hujan telah berhenti menyisakan sunyi dengan angin yang berhembus menusuk kulit. Alev berhenti di pelataran toko. “Tunggu bentar ya.” Ia menurunkan Rea dan menyuruhnya untuk duduk.
Sementara dirinya mengambil ponsel dari saku jaketnya dan mengobrol singkat dengan orang diseberang. Ia simpan kembali ponsel ke saku jaket dan melepas jaketnya. Lalu ia pasangkan di punggung Rea.
Ia tidak ikut duduk, tapi memilih untuk berdiri. Rea merapatkan jaket Alev karena dingin menyerang kulitnya secara bertubi-tubi. Ia angkat kepalanya dan menatap punggung Alev yang berdiri tegak. Pahlawan atau pangeran kuda putih, yang pasti Alev adalah penyelamat baginya.
Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan Alev di susul dengan munculnya satu orang dari samping kursi pengemudi. Alev memberikan kunci motornya dan mengangguk pelan pada orang itu.
“Baik tuan.”
“Ayok, Re!” ajak Alev sambil membantu Rea berdiri dengan memegang kedua pundak gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUVIA
Teen FictionDalam hidup menolong sesama adalah perkara yang baik dan patut untuk disyukuri. Tapi, lain dengan seorang gadis yang akrab di sapa Rea. Ia menyesal telah menolong seorang gelandangan yang ternyata adalah seorang tuan muda. Hidupnya yang memang suda...