"Mbak Jinan!" panggil seorang satpam menghampiri sang pemilik nama yang tengah berdiri di dekat meja information center.
Jinan mengarahkan pandangannya pada sumber suara, mendapati pria berseragam coklat berdiri tepat di hadapannya sembari menyodorkan paper bag bertuliskan Worldwide magazine. "Mbak Jinan mau ke dalam 'kan? Saya boleh nitip ini untuk dikasih ke pak Hendery? Dari tadi saya nunggu pak Tio, tapi orangnya nggak muncul-muncul," jelas satpam.
Dahi Jinan mengernyit, tampak kepalanya yang sedikit miring membaca tulisan berwarna emas itu. "Sebenarnya saya mau keluar sih. Tapi nggak masalah, nanti saya berikan ke pak Hendery," ucapnya menggenggam tali paper bag tersebut, lalu pergi selepas membiarkan pria berseragam coklat itu mengucapkan terima kasih.
Kini Jinan berada di dalam lift yang menuju ke lantai 20, dimana lantai tersebut dikhususkan untuk ruangan para eksekutif perusahaan. Sayangnya Jinan melupakan satu hal, bahwa ia tidak pernah memasuki ruangan Hendery ataupun bertapak di lantai 20. Setelah Ruangan untuk para eksekutif sebelumnya diganti karena renovasi.
Ia mulai mondar-mandir mencari seseorang untuk dimintai pertolongan. Tepat pada saat itu, orang yang Jinan cari muncul dari balik ruangan bertuliskan meeting room. Hendery memimpin jalan yang diikuti beberapa anak buahnya dari belakang, pria itu menyadari kehadiran Jinan dan berhenti tepat di depannya.
Jinan lantas menyodorkan paper bag yang ia terima dari satpam tadi, "Ini contoh majalah edisi See The Sea dari Worldwide Pak," ucapnya sedikit canggung.
Hendery mengangguk lalu memanggil sekretarisnya, "Tio, tolong kamu urus ini. Saya masih ada pertemuan penting."
"Berikan," titah Tio sudah siap menyambut paper bag tersebut dengan tangan kanannya, sementara Jinan termangu menatap kepergian Hendery yang begitu mendominasi. "Mau saya tunggu sampai kapan?"
Dentingan notifikasi muncul dari ponsel Jinan, mengalihkan atensinya hingga melupakan Tio yang sedari tadi membuka tangan menunggu paper bag itu diberikan. Jinan hanyut pada sebuah pesan singkat dari Giselle, jari-jarinya bergerak lincah mengetik beberapa huruf untuk memberikan balasan pada juniornya itu. Sementara Tio yang sudah menunggu sekian menit tampak kesal seraya menghembuskan napas berat kemudian merebut tas kertas tersebut dengan kasar, tatkala membuat Jinan tersentak yang nyaris menjatuhkan ponselnya.
"Kamu—" ucap Tio tak sudah dengan wajah jengkel yang berusaha tersenyum. "Fokus! Oke?"
Mata Jinan tak berkutik melihat kepergian pria ber-title sekretaris tersebut, ia kemudian menghela napas panjang; syok ketika ponselnya nyaris terjatuh. Jika hal itu sempat terjadi, kemungkinan besar layar gadget yang sudah retak akan lebih retak lagi karena tidak memasang layar pelindung.
Perempuan itu segera memasuki lift, turun ke lantai dasar untuk menemui Giselle yang sudah menunggunya. Segerombolan orang telah menanti saat pintu baja itu terbuka otomatis, bentrokan kecil terjadi ketika dua kelompok mencoba untuk keluar dan masuk secara bersamaan. Seorang pria dengan kumis tipis tak sengaja bersenggolan dengan Jinan, membuat keduanya sama-sama menoleh walau hanya sepersekian detik akibat pintu lift yang kembali tertutup.
Sebuah tepukan mendarat di pundak Jinan, berhasil menarik afeksi sang empu yang kemudian melirik pada sosok perempuan muda di depannya. Itu Giselle. Kedua perempuan tersebut lantas pergi menuju mobil yang sudah terparkir tepat di depan pintu masuk.
Dua hari yang lalu, mereka mendengar kabar bahwa Jeffery mengalami kecelakaan kerja yang membuat Rosé menangis histeris. Suami dari Madam Rosé itu kini tengah dirawat di rumah sakit dengan gips yang melilit di tangan kirinya, sekaligus menjadi alasan mengapa Jinan dan Giselle sekarang berada di rumah sakit.
Diketahui dari Madam Rosé, Jeffery bisa sampai babak belur seperti ini dikarenakan pukulan serta dorongan keras dari seorang terdakwa pelaku pelecehan terhadap seorang anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar.
Saat hakim menjatuhkan vonis, saat itu juga terdakwa berlarian menghampiri Jeffery dan memukulinya hingga babak belur. Pergerakannya yang terlalu cepat membuat Jeffery tak dapat menghindar, bahkan para aparat yang ada di persidangan nyaris terkecoh. Untungnya perkelahian itu cepat terlerai, menjadikan terdakwa terlibat atas dua kasus secara bersamaan.
"Itu mah bukan pengeroyokan, Madam, 'kan yang nyerang cuman satu orang," ujar Giselle geleng-geleng kepala.
"Ya mau gimana lagi, orang Madam udah panik," balas Rosé berhasil mengukir senyuman dari ketiga orang yang berada di ruang tersebut.
"Tapi kenapa nyerang Pak Jeffery coba, kenapa nggak langsung hakimnya aja? 'kan beliau yang buat keputusan," sanggah Jinan menambah beban pikiran.
Pria dengan tangan yang terpasang gips itu hanya mengangkat bahu tak tahu. "Nggak masalah sih, selama anak itu dapat keadilan mau saya dikeroyok sampai matipun nggak masalah," komentar Jeffery sontak menerima pukulan serta wajah sinis dari Madam Rosé.
"Nyari gara-gara kamu!" ketus wanita berstatus istri dari Jeffery tersebut.
Mendengar cerita dari Jeffery terkait kasus pelecehan dan saat ini tengah diperbincangkan diberbagai lini masa, membuat Jinan teringat akan teman lamanya —atau tepatnya tentang kisah yang terjadi antara ia, temannya, dan art house beberapa tahun silam.
Terkenang masa lalu yang seharusnya tak pernah terlintas menyebabkan rasa penyesalan kembali merengkuh hati. Entah apa yang dipikirkannya, namun sejak keluar dari ruang perawatan perempuan itu terus melamun sesekali menghembuskan napas yang terdengar berat. Pikirannya kembali pada realita saat kakinya terbentur dengan kursi besi yang biasanya berjejer di dinding rumah sakit.
"Kak Ji kebiasaan, masa jalan sambil ngelamun 'kan kesandung," celetuk Giselle menggelengkan kepala seraya berkacak pinggang layaknya orang tua, sementara sang empu hanya cengengesan mengusap kakinya yang terasa nyeri.
Sebuah spanduk yang sedang diletakkan oleh seorang petugas di depan rumah sakit menjadi atensi bagi Jinan, bukan karena tulisan yang mengandung unsur pembujuk, melainkan wajah seseorang yang ia kenali terpampang jelas pada plastik berbentuk persegi panjang tersebut.
"Wih ... Organisasi art house open member nih, jadi pengen gabung deh," ucap Giselle.
"Kamu tahu art house?" tanya Jinan tampak terkejut.
Giselle mengangguk, "Lagi booming dikalangan anak remaja, Kakak nggak tahu?"
Jinan menggelengkan kepalanya lembut, seraya mengatakan sebuah nama dengan suara yang samar-samar. "Adelio ...."
Brukk
"Yahh!" Seorang wanita terlihat kesal dengan puluhan apel berserakan dijalan akibat plastik yang digunakannya robek.
"Pak, tolong ambilin keranjang di dalam ya," ucap seorang pria yang datang bersamaan dengan wanita itu. "Lagian apel sebanyak ini untuk apaan?" Pria itu mengoceh.
"Buat dibagiin ke anak-anak co-ass, mereka juga butuh vitamin. Pasti di rumah sakit tempat kamu kerja nggak pernah gini 'kan?" Wanita itu berlagak arogan, sementara si pria tak peduli dan sibuk memasukan apel ke dalam keranjang.
Usai memindahkan puluhan apel tersebut, pria itu kemudian mengangkat keranjangnya dan berjalan memasuki rumah sakit.
"Ehh, itu dokter Kakak 'kan?" ujar Giselle, "Dokter bisa kerja didua rumah sakit sekaligus, ya?"
"Untung kamu Adelia, bukan Adelio!" ucap pria yang pernah menyembuhkan Jinan dari penyakitnya, jalan begitu saja tanpa menyadari kehadiran perempuan itu disana.
ㅤ
ㅤ
𝐌 𝐄 𝐍 𝐉 𝐄 𝐑 𝐔 𝐁 𝐀 𝐃 𝐑 𝐀
ˢᵃᵐᵇᵘᵗˡᵃʰ ᵈⁱᵃ ᵈᵉⁿᵍᵃⁿ ʰᵃⁿᵍᵃᵗㅤ
KAMU SEDANG MEMBACA
MENJERU BADRA
Romance❝Ketenangan? Di dunia ini? Bohong. Orang yang udah meninggal aja masih didoakan biar tenang.❞ Genre: Comedy Romance M E N J E R U B A D R A Copyright © 2023, saldelalune All Rights Reserved