Selama Berduka

5 2 0
                                    

Halo guyss!!! Lama tidak berjumpah dengan author yang sudah menggantung cerita-ceritanya. Udah lama sih gk up lagi, soalnya author lagi sibuuuuukkkkkk banget, jadi sangat disayangkan karena sekarang aku pun lupa sama alur cerita yang dibikin di buku-buku sebelumnya. Gomenasaiii.... Tapi sekarang author kembali dengan cerita terbarunya (lagi mood nulis soalnya) semoga aja mood author bertambah besar dengan voment kalian yang bikin author pengen nulis lagi lagi dan lagi. Yaudah deh tanpa basa-basi, let's get to the storyy!!!!!! Enjoy!!















Warning!! I used harsh word and some sensitive content. Dimohon untuk bijak. cukup untuk dibaca dan mewakili perasaan kalian. enjoy...



***

Sudah lima bulan lamanya aku hidup setelah kehilangan seseorang sekaligus satu-satunya orang yang paling berarti di duniaku. Ibu.

Aku selalu merindukannya setiap waktu. Sepertinya diriku sendiri juga tidak mau menolak untuk mengingatnya. Dia terlalu berharga untuk aku lupakan.

"Kamu harus jalanin hidup kamu Cel... Ibu juga sedih kalo kamu sedih," ucap mereka semua yang tidak pernah kehilangan seseorang.

Semenjak ibu pergi, aku mulai membenci semua orang. Setelah sekian lama aku hidup di lingkungan mereka, kenapa baru sekarang aku menyadari kelakuan para orang tua ini? Hal ini sangat memberatkanku untuk bisa beradaptasi, mengingat sekarang aku harus menjalani dan menghadapinya seorang diri.

Hari ini aku bangun terlalu pagi. Masih jam 3 pagi. Padahal seingatku, aku tertidur sangat telat, kurang lebih di jam 1 pagi tadi aku baru bisa tertidur. Yah, tidak mengherankan aku begini, alasannya bisa saja aku jabarkan satu persatu jika seseorang bertanya kepadaku.

Aku beranjak dari tempat tidurku. Tepatnya, tempat tidurku bersama ibu dulu. Sungguh sangat berat untuk tidak meneteskan air mata dan mengingat waktu-waktu dulu.

Walaupun berat dan rasanya tidak kuat, aku tetap memaksakan diri untuk bisa berdiri dan mengambil langkah. Ku buka pintu kamar yang terbuat dari kayu ini dan langsung dihadapkan oleh kegelapan rumah yang tentu saja terasa sangat sepi.

Dengan mempercayakan langkahku dan pikiranku yang tidak karuan, aku melanjutkan perjalanan singkat ini untuk menuju pintu utama. Aku melewati ruang tamu yang sama gelapnya dengan ruanganku. Dari cahaya bulan yang masuk melalui sela-sela jendela, aku bisa melihat ada seseorang yang tengah tertidur disana, diatas sofa. Perawakan seorang lelaki berisi dengan rambutnya yang semakin lama semakin memutih dan rontok.

Aku langsung memalingkan wajahku saat aku menyadari keberadaanya. Dia salah satu alasanku membenci dunia. Ayahku.

'Gara-gara lo Ibu pergi ninggalin gue, kenapa nggak lo aja sih yang pergi?'

Author POV <flashback on>

Anak itu berjongkok memojok di dinding, dia menggigil ketakutan saat didepannya berdiri seorang lelaki yang tengah mengangkat sebuah sisir plastik berwarna merah.

"Nangis lagi yang kenceng!" Katanya seraya menggerakkan tangganya yang sedang memegang sisir itu, bermaksud untuk menakuti si anak dan membuatnya diam.

Si anak kemudian tersengguk menahan tangisannya. Sudah banyak luka di tubuhnya yang masih terasa sakit. Ia tidak mau lagi menanggung sakit yang belum bisa hilang berhari-hari.

Seorang wanita yang mendengar keributan itu berlari memeluk sang anak dan menarik tangannya untuk berdiri. Dia, sang wanita itu, menatap wajah kekasihnya penuh amarah dan rasa lelah.

"Anak nangis itu wajar, bisa ga si kamu ga usah kasar sama anak?" Wanita itu mengendong sang anak dan mengelus pundaknya sebelum dia melenggang pergi ke kamar, meninggalkan lelaki itu yang kini hanya terdiam menatap mereka dengan tangan yang masih memegang sisir.

Author POV end <flashback off>

Disinilah aku sekarang, terduduk diatas lantai keramik berwarna hijau gelap. Aku menengadah mencari tempat ibuku berada, di atas dinginnya lantai teras rumah. "Ibu, bagaimana kabar ibu disana? apa ibu bisa liat aku?" Aku berbicara sendiri.

Air mataku jatuh lagi. Sudah keberapa kalinya aku begini? Tuhan, bisakah engkau menerima doaku? aku ingin menemui ibuku. Sudah tidak ada tujuan untukku terus menjalani kehidupanku.

"Meong~"

Aku sedikit tersentak lalu menoleh kearah suara. Kucing ini... Kucing liar yang selalu aku lihat, bulunya yang pendek berwarna abu-abu dengan sedikit warna putih selalu familiar untukku.

"Aningen...," ucapku memanggilnya. Dia menjawab seraya mendekatiku dan menggosokkan tubuhnya di kakiku sebelum dia duduk disebelahku. Dia menatapku dengan sangat lembut. Sepertinya dia tau perasaanku saat ini. Sungguh sangat lucu.

"Aningen, kemana anak-anak kamu?" Aku bertanya sambil mengusap kepalanya. Dia memejamkan matanya. "Waduh, kamu perasaan baru ngelahirin, ko sekarang bunting lagi si." Aku memegang perutnya yang membesar.

Aningen terpejam selagi aku mendengarnya bersuara khas yang para kucing keluarkan disaat mereka nyaman. Aku tidak mengeluarkan suara seperti Aningen, tapi aku nyaman dengan hanya ditemani makhluk mungil yang aku belum tahu tujuannya diciptakan.

Aku menegadah lagi menatap bulan dengan tanganku yang masih mengusap perut hangat Aningen. "Ibu, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan setelah kehilanganmu."

***

SELENOPHILE

***

Jangan lupa untuk voment man-teman~

SelenophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang