Masih hari yang duka

4 2 0
                                    

Aku tidak suka terbangun, akhir-akhir ini. Terlalu banyak hal yang aku belum bisa relakan. Semuanya membuatku hampir kehilangan akal-atau mungkin aku sudah kehilangan sebagian. Terjebak dalam indahnya masa lalu sampai aku tidak memiliki waktu untuk memperbaiki semuanya sendirian sekarang. Tubuhku, pikiranku, bahkan sikapku kepada banyak orang yang entah siapa lagi yang bisa aku percaya dan bertumpu untuk sekedar berbagi kegelisahan; sudah tidak beraturan dan hancur. Semuanya telah terjadi dan belum bisa aku terima. Tuhan, aku tahu aku sudah sangat berdosa karena tidak menerima semua takdir yang telah terjadi, tetapi aku sangat lelah Tuhan, mungkin hanya itulah yang aku bisa berikan sebagai rasa maafku. Aku sungguh tidak kuat untuk melakukan apapun. Semuanya-sekarang terasa lebih berat dari mengangkat ratusan galon diatas bahu.

Aku teringat dengan berbagai macam bagian dari masa laluku, khususnya yang terindah. Dan lebih khususnya lagi, mengingat kebersamaan diriku dengan Ibu. Rasanya aku hampir muak karena tidak bisa menelan sang takdir, rasanya ia hanya tertahan di atas tenggorokanku. Aku butuh minum, terapi aku tidak tahu dimana air itu berada. Ibu, semakin lama engkau tidak disini, semakin aku merindukanmu. Rasa rindu ini seperti sesuatu yang membelah dirinya menjadi dua setiap detik didalam tubuhku. Kini mereka sudah menguasaiku, Bu. Kapan kita akan bertemu lagi?

Dahulu aku tidak bisa engkau tinggal walau engkau hanya pergi mandi, aku selalu mengikuti mu dan melihatmu mandi-sampai kau bilang "Jangan liatin Ibu mandi terus ah, Ibu malu." Aku hanya tertawa dan tidak menggubris pernyataanmu. Dan juga, kau pernah meninggalkanku pergi untuk ke pasar saat aku terbangun pagi hari sebelum engkau sempat sampai di rumah, aku menangis dengan sangat hebat. Nenek sudah memakiku dan menyebutku anak beban saat itu-walau aku tidak tahu apa artinya, dulu. Sesaat kau pulang, aku langsung memelukmu dengan erat sebelum engkau sempat menyimpan plastik berisi sayur-mayur yang akan kau masak untukku nanti siang. Kau hanya tertawa dan melihatku jenaka, sungguh suara yang sangat aku rindukan saat ini; suara tawamu.

Untuk kesekian kalinya, aku menangis lagi.

"Aku benci hidupku." Hanya itu yang terucap dalam bibirku yang kering. Didalam tangisku, aku mengucap kalimat itu berulang kali seperti orang kesetanan. Bersamaan dengan aku yang memukul-mukul kepalaku sedikit keras, aku merasakan hal yang sangat menyakitkan jauh didalam hatiku. Rasanya sangat panas. Panas itu sekarang menjalar ke seluruh tubuhku. Pikiranku kembali hancur dan tidak karuan. Semuanya terulang seperti cuplikan menyebalkan didalam film yang terpaksa aku saksikan.

Ting!

Aku tersadar. Semuanya mendadak hening. Apa yang telah aku lakukan? Aku menyeka air mataku yang hangat-lalu mencari keberadaan suara yang menyadarkan ku; suara notifikasi pesan. Terlihat di sana sang pengirim; Hannah. Dia bertanya kepadaku bagaimana kabarku. Aku harus menjawab apa? Aku bahkan tidak tahu bagaimana kabarku.

Dengan sisa alasan yang bisa aku pikirkan, aku hanya menjawab. 'Aku gapapa kok, ada apa?' Belum sampai 1 menit aku jawab, dia langsung mengetik pesannya.

'Kamu ga pernah keliatan jalan diluar lagi, biasanya suka jajan tahu kocek di Nek Ningsih, makannya aku tanya. Kalo kamu gapapa ya bagus sih, kapan mau main?' Hannah membalas.

Aku hanya menatap pesannya dengan semua suara berisik di kepalaku. Terlalu banyak hal yang terlalu takut aku hadapi. Aku mematikan layar ponselku untuk kembali meringkuk diatas kasur. Aku ingin kembali bersama teman-temanku lagi. Tetapi tidak untuk saat ini. Aku tidak tahu kenapa, yang pasti tidak saat ini.

Biarkan aku kembali kepada hidupku yang malang ini.

***
SELENOPHILE

***

SelenophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang