Menemukan harapan dalam layar

4 1 0
                                    

Dingin...

Aku harus makan sesuatu.

Aku mengambil langkah tak pasti mencari makanan yang bisa menghilangkan rasa laparku. Pintu dapur yang tidak jauh berada di sisi kamarku— dengan berjalan menuju lorong kecil, aku menyeret kakiku dengan lemas. Ku putar kenop pintu itu pelan— hampir tidak menimbulkan suara. Tetapi umur tidak bisa bohong, pintu kayu tua ini menimbulkan suara khas pintu macet yang sangat mengganggu. Aku mengintip kedalam sebentar; memastikan tidak ada 'orang itu' didalam. Ya, 'orang itu'; Nenekku.

Krruukk~

Perutku berbunyi dengan sangat keras. Bisa aku rasakan getarannya membuatku semakin lemas dan lapar. Inilah akibatnya seharian tidak makan. Tubuhku yang sedari lama sudah kurus, semakin mengecil bak skeleton berjalan.

Setelah tahu tidak ada seorangpun didalam dapur, aku memutuskan untuk masuk dengan tanpa suara. Aku biarkan pintunya terbuka agar aku tidak harus membukanya lagi dan mendengar decitan yang dia timbulkan. Disini sedikit terang dari kamarku. Ada sebuah lampu remang-remang yang menerangi. Memang tidak begitu terang dan masih ada beberapa tempat yang tidak bisa tergapai oleh cahayanya. Tetapi ini sudah cukup untuk membantuku melihat apa yang aku cari. Dengan semua kelinglungan diriku, aku kembali berjalan menuju kulkas. Disana tidak ada apapun selain sayur mentah. Aku tidak mau terlalu lama disini, apalagi untuk masak. Terlalu malas rasanya. Karena kulkas tidak memberiku apapun, aku kembali mencari di lemari piring. Dan lagi-lagi saat ku buka, tidak ada apapun selain nasi putih. Huh, bukan cuman depresi, tapi miskin juga. kekesalan ini membuatku kehilangan nafsu makan. Dengan sisa tenagaku, aku kembali mancari. Tetapi yang hanya bisa aku temukan hanya bumbu dapur. Memikirkan hal itu, membuatku teringat masakan Ibu. Aku merindukan masakan Ibu. Jikalau saja ia masih ada disini, pasti aku tidak akan pernah merasa selapar ini. Aku merindukan masakan miliknya yang tidak pernah gagal. Walau memasak telur orak-arik, rasanya sangat enak sampai-sampai aku selalu minta Ibu masak lebih banyak. Aku sebenarnya tidak suka makan. Tetapi jika Ibu menawarkanku masakannya, aku tidak pernah bisa menolak.

Aku menggeleng pelan seraya mengusap wajahku yang sudah terasa basah. Entah ini sisa air mataku tadi atau baru saja aku menitikan air mata, aku sudah tidak peduli. Aku kembali mencari dan mencari mengelilingi dapur, mengorek semua barang yang memungkinkan makanan tersembunyi disana, tetapi hasilnya nihil. Perutku semakin lama semakin sakit, aku sudah mual dan rasanya aku ingin pingsan sekarang juga- sampai akhirnya aku ingat bahwa ada mi. Sayangnya mi itu ada di kamar Nenek. Haruskah aku kesana? Bagaimana jika dia terbangun? Ah semakin aku memikirkannya semakin aku tidak ingin makan. Tetapi mau bagaimana lagi, aku harus makan. Ini juga waktu yang tepat untuk makan, karena kemungkinan terjadi hal yang tidak-tidak itu sangat kecil. 

Tidak seperti dulu.

Author's POV <Flashback on>

Anak perempuan itu terduduk diatas kasurnya gelisah. Ia menatap boneka kelinci miliknya dan mulai mengkhawatirkan segala kemungkinan. Memang terasa sulit untuk besar menjadi anak yang selalu berpikiran aneh-aneh untuknya. Seringkali, ketakutannya bahkan membuat dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Itulah kenapa dirinya selalu bergantung kepada Ibunya. Tetapi sayangnya, saat ini, kekhawatirannya ada untuk Ibunya. Beberapa jam yang lalu Ibunya mengeluhkan sakit yang ia rasakan; mulai dari sakit kepala, pusing, sakit di bagian perut dan juga napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Untungnya sang suami masih punya hati nurani untuk mengantarkan istrinya ke rumah sakit. Meninggalkan anak mereka dirumah sendirian bersama Nenek. Untuk saat itu, entah kenapa, Nenek mampu berjalan menuju si anak dan menenangkannya. Mengelus rambutnya yang dipotong pendek 1 minggu yang lalu, kemudian berkata, "Cella anak yang baik, Ibu ga akan kenapa-kenapa. Ditunggu dan didoakan saja dari jauh ya, nak." Anak yang disebut tidak berucap apapun, dia hanya terdiam dan merenung tentang segala hal dan kemungkinan yang hanya ia sendiri yang tahu. 

Brak!

"Mbak Cell!!" Yang terpanggil mendongak, wajahnya yang penuh dengan kegusaran seketikan terganti dengan raut wajah terkejut. Dirinya melihat sang sepupu perempuannya yang umurnya tidak jauh darinya. Dengan tatapannya yang bingung, sang sepupu tersenyum. "Mbak udah makan? Mamah beli nasi goreng buat mbak. Ayo makan dulu," ajaknya. Cella hanya terdiam dan menggeleng, ia menatap lantai lagi. Tetapi sebelum pikirannya jatuh lebih dalam, sang sepupu menarik tangannya sehingga badannya yang kecil dengan mudah terangkat. Mau tidak mau, Cella berjalan mengikuti sepupunya itu. "Keyla, Mbak mau dikamar aja, Mbak ga mau makan," ucap Cella lemas. Keyla dengan wajah yang tersenyum dan tangan yang masih menggenggam 'Mbaknya', hanya menatap Cella tanpa mengatakan sepatah katapun. "Mbak duduk disini dulu, biar tak ambilkan nasi gorengnya, ya." Cella mengangguk lemas dan duduk diatas sofa hijaunya. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu, Keyla kembali bersama seorang wanita berusia 30 tahunan yang tidak lain adalah ibunya. 

"Nih, dimakan dulu nasinya. Kamu belum makan dari pagi tadi kan?" Ibunya Keyla menyimpan piring berisikan nasi goreng itu didepan Cella. Dengan sedikit perbincangan yang sedikit mengalihkan rasa khawatir Cella, dirinya mulai memakan makanan yang disuguhkan oleh kakaknya. Waktu demi waktu berlalu, hanya tinggal beberapa suap nasi yang Cella miliki, dirinya mendengar nada dering yang datang dari ponsel kakaknya; Ibunya Keyla.

"Halo?..." Wanita itu berkata dengan seseorang di seberang sana. Wajahnya yang kebingungan semakin lama berubah menjadi raut wajah terkejut. Ia menutup mulutnya dengan mata yang memebelalak, terlihat matanya memerah. Rasa khawatir Cella mulai kembali seperti ribuan peluru yang dilayangkan padanya. Sampai dirinya sudah tidak bisa membendung semuanya setelah sang kakak berkata, "Innalilahi wainnailaihi rojiun...."

Cella tahu, saat itu, semuanya menjadi abu-abu. Dunianya yang selalu berwarna, seketika memudar menjadi mimpi buruk. Dirinya tahu, Ibunya sudah menjadi bulan.

Author's POV <flashback off>

Aku sudah berada didalam kamar. Masih didalam kegelapan ini, aku sudah berhasil mengambil sebuah mi goreng dan memasaknya. Saatnya aku mengisi diriku. Akhir-akhir ini aku memang menyukai kegelapan dan aku lebih suka makan di malam hari. Oh, dan juga, sudah lama aku tidak bermain ponsel, siapa tahu didalam sana ada sesuatu yang menarik yang bisa menemaniku makan. Dengan sekali dan dua kali suap, aku membuka ponsel untuk mencari sesuatu yang tidak pasti. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menonton sesuatu di aplikasi berwarna merah. Aku menonton dengan acak dan sembarang. Tidak lama mencari, mataku tertuju dengan  sebuah thumbnail seorang lelaki beparas tampan sedang tersenyum. Judulnya tertulis Chan's room. Sejak saat itu, aku tahu bahwa dialah penyelamat pertamaku.

***

SELENOPHILE

***

SelenophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang