Menjalani hari yang penuh duka

3 2 0
                                    

Jauh sebelum hilangnya Ibu, aku pun sudah tahu kalau disekelilingku tidak pernah ada orang yang benar-benar tulus. Dalam arti kata, perilaku mereka yang bodo amat dan lebih condong kearah hal negatif telah kusadari sedari kecil. Jangan jauh-jauh, ayahku saja sebagai contohnya. Dari dulu dia tidak pernah bisa menerima nakalnya diriku disaat masih kecil, lalu melalaikan kewajibannya bekerja mencari nafkah, dan ditambah lagi seringkali dia pergi dari rumah hingga berbulan-bulan dengan alasan pekerjaan yang jika saat pulang, dia tidak repot-repot untuk tidak membawa sesuatu sebagai hasil "kerja"-nya. Pulang dengan tangan kosong, sementara Ibu menunggu Ayah pulang dengan harapan menerima uang untuk makan siang besok.

Dan yang lebih parah lagi, aku yang masih kecil ini mendengar ayah meminta uang kepada Ibu yang konon katanya uang itu akan dipakai sebagai modal kerjaannya. Sayang sekali aku tidak mengira hal itu sangat buruk untuk Ibuku. Jika aku tahu ternyata lelaki gila itu pulang dengan tangan kosong, pasti sudah aku habisi laki-laki yang bahkan enggan aku panggil Ayah itu dihalaman rumahku sendiri.

"Cell!!"

Teriakan itu... Aku lupa menceritakan hal ini. Setelah kehilangan ibu, aku tinggal bersama dua orang yang menyebabkan mental ibuku hancur. Suaminya dan Ibunya sendiri, yang bisa aku sebut sebagai Ayah dan Nenekku.

Aku tidak mengindahkan panggilan itu. suaranya yang cempreng dan khas dari nenek-nenek cerewet itu membuatku sakit telinga, lantaran aku tahu dia akan menyalahkanku untuk entah apa itu yang ada dipikirannya.

"Mana sendokku?!" Nenek berteriak lagi. "Kamu kalo makan jangan pake sendokku!" lanjutnya seraya menggedor-gedor kamarku.

Aku tidak mau menjawabnya, karena untuk yang kesekian kalinya dia menuduhku melakukan hal yang tidak pernah aku lakukan. Lagipula untuk apa aku memakai sendok bekas nenek-nenek?

Aku bungkus diriku dengan selimut. Aku menangis lagi.

Author POV <flashback on>

"Cell, kalo ada nenek didapur kamu langsung ke kamar aja ya." Sang ibu mengelus puncuk kepala anaknya yang cantik. Si anak hanya mengangguk, seolah dirinya mengerti kenapa ibunya memberitahukan hal tersebut. Anak perempuan itu pun berlari dengan boneka kelinci yang sudah usang yang selama ini ia peluk dan bawa kemana-mana. Bukan karena apa, tapi setiap bonekanya akan dicuci oleh ibunya, ia selalu berkata bahwa ia menyukai aroma ibunya yang sudah menempel di boneka kelinci itu.

"Ngurusin anak itu yang bener, masa anaknya disuruh main sendiri. Aku loh dulu rawat kamu itu bener. Kamunya aja yang ga punya rasa terimakasih." Anak itu terduduk diatas kasurnya, dengan sayup-sayup mendengarkan neneknya berbicara dengan sangat keras. Ia tau bahwa perkataan neneknya ditujukan untuk ibunya. Tetapi setelah ditunggu sedikit lebih lama, ibunya tidak juga terdengar untuk menjawab perkataan sang nenek.

Sayangnya... saat itu, anak perempuan yang masih saja memeluk boneka kelincinya itu, tidak mengerti apa-apa.

Author pov end <flashback off>

Aku terbelalak dengan sangat lebar. Badanku terasa sangat basah. Aku berkeringat. Aku menerawang sekitar, tetapi kamarku terlalu gelap untuk memperhatikan sesuatu. Tanganku bergerak mencari ponsel.

"Ketemu!," ujarku.

Dengan cahaya ponsel yang tiba-tiba menyerang indra penglihatanku, aku berkedip berkali-kali untuk bisa membiasakan diri dengan layarnya. "Jam dua belas tiga dua..., malam?"

Ah sial, aku ketiduran lagi. Perutku berbunyi karena memang belum sempat makan apa-apa pagi tadi. Bagaimana bisa aku tertidur lebih dari 12 jam seperti ini? rasanya badanku ingin meledak. kepalaku berputar. Perutku melilit dirinya sendiri karena tidak tahan karena tidak aku beri olahan. Rasanya sangat sakit seakan tubuhku menyiksa dirinya sendiri. Tetapi entah kenapa... aku menyukainya.

***

Jangan lupa voment guys!

SelenophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang