Eleven

560 42 8
                                    

          Dunia terlihat begitu tidak menarik di mata Terre. Kalau saja ia tidak datang ke pertandingan Basket sekolahnya, berniat memberikan semangat pada Davina tapi justru malah ia yang dikejutkan saat melihat Davina berciuman dengan  Keira, mungkin ia tidak akan selayu ini.

Mungkin.


           Tapi bisa jadi keesokan harinya dia juga masih akan terkejut mendengarkan keseruan anak-anak satu sekolahnya membicarakan Davina dan Keira yang tiba-tiba sudah menjadi sepasang kekasih.

Lucu.

          Beberapa bulan yang lalu ia masih sedekat itu dengan Davina. Menginap di rumahnya, makan bersama, pergi sekolah bareng, bertengkar hanya karena kesal dengan kejahilan Davina dan rangkulan yang begitu akrab di bahu Terre.  Sekarang semua itu lenyap.

Miris.

         
          Sekarang Davina bersama Keira. Bahkan ia tidak begitu mengenal Keira. Jelas saja, karena Terre memang tidak berteman dengannya. Terre mengenal Keira lewat teman-temannya yang membicarakan Keira. Tidak susah menemukan gadis cantik dengan rambut panjang bergelombang, bulu mata lentik, mata bulat berwarna coklat tua, kulit putih mulus terawat dan senyum yang menawan. Gadis idola kaum adam satu sekolah itu kemanapun ia pergi pasti menjadi pusat perhatian.

         Terre berbaring tengkurap di kasur kesayangannya dengan selimut menutupi hampir seluruh tubuhnya, kecuali kepala. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 08.45 pagi. Lagi-lagi ia tidak pergi ke sekolah. Ia malas melakukan apapun, bahkan sekedar membuat sarapan untuk dirinya sendiri saja ia sungkan.

         'Biarlah mati lemas karena kelaparan', pikirnya walaupun dalam hati ia belum ingin mati. Masih terlalu muda.

         Tarrez, adik satu-satunya pun tidak di rumah selama seminggu kedepan, ia ikut kegiatan studytour sekolahnya ke daerah sekitaran Jawa Tengah. Ia pergi pagi-pagi sekali, berpamitan pada kakaknya. Sedikit merasa khawatir karena kakaknya sedang sakit, namun Terre berhasil meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.  Alhasil beberapa hari ini Terre hanya sendirian di rumah, walaupun memang biasanya dia sendirian dan hanya ada Tarrez.

Drrtt...

Drrtt...

          Perhatian Terre beralih pada handphone miliknya yang tergeletak di kasur dekat kepalanya. Notif melayang dilayar handphone Terre menampilkan nama 'Ge'aPut~'. Terre meraih handphonenya, membuka roomchatnya bersama Gea.

Ge'aPut~
08.46
Absen lg Re?

Terreee°~
08.46
Masih ga enak badan gue

Ge'aPut~
08.49
Gue ama Davina kesana ya pulang ntar. Dimas jg nyariin lu td.

          Terre mendengus pelan membaca chat balasan Gea. 'Davina mau kesini? Ngapain?', batin Terre. Dadanya ngilu hanya dengan menyebutkan nama Davina.

          'Kalau memang peduli, rumah lo ga jauh dari rumah gue, Vin. Tapi kenapa ga ada lo datang nemuin gue'

Terreee°~
08.54
Ga usah. Gw butuh istirahat doang. Bsok jg dah masuk gw.

Ge'aPut~
09.15
Are u sure Re? Ntar kek adek gue tiba2 msuk IGD trus rawat inap!

Terreee°~
09.15
Jngn nakutin! I'm fine, flu doang!

Ge'aPut~
09.16
Ya kan kaliii.. Oke klo gitu. Get well, See u soon bebbss🤍

          Terre tertegun membaca chat balasan Gea. Ia tidak berniat membalasnya. Ia keluar dari roomchat Gea dan  membuka roomchat Davina. Chat terakhir dari Davina pukul 07.20 pagi tadi.

    
Vin_Zi
07.20
Bales chat gue atau lo bakal nyesel

     
           Puluhan chat dari Davina sejak 2 hari yang lalu, terakhir Terre sekolah, tidak satupun ia balas. Dibaca kemudian diabaikan.

'Apalagi yang mau di sesalkan', pikir Terre pasrah. 

          Terre lagi-lagi merasakan kehilangan. Ia tidak bermaksud silent treatment, hanya saja ia tidak suka berbicara panjang lebar, terutama dalam mengungkapkan perasaannya. Ia lebih memilih diam dan mengabaikan. Ia ingin orang lain mengerti perasaannya tanpa harus ia ungkapkan. Egois sekali memang. Bagaimana bisa orang lain mengerti yang dia mau kalau tidak diungkapkan? 

          Sesak di dadanya bertambah, ditemani cairan bening yang perlahan berkumpul disudut matanya. Air matanya jatuh tanpa diminta, tanpa bisa ditahan.
.
.
.

.


.
.

          Tidur Terre terganggu karena suara gedoran pintu rumahnya. Suaranya bukan lagi berupa ketukan pelan yang berirama, tetapi lebih ke dobrakan pintu yang seolah ingin memaksa masuk. Terre segera bangkit dari kasurnya, melihat ke luar jendela yang mulai gelap. Ia ketiduran sejak pagi dan sekarang jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 18.15 sore. Suasana kamar tampak mulai remang karena lampu kamar yang mati. Kepala Terre masih bedenyut pening namun ia paksakan untuk berjalan keluar kamarnya dan menuruni tangga walaupun harus berpegangan  pada benda apapun di sekitarnya.

           Gebrakan di pintu masih terdengar, tanpa suara panggilan. Terre mematung di depan pintu rumahnya. Menimbang-nimbang siapa yang menggedor pintu rumahnya di sore menjelang malam hari ini. 

"Tarrez?? tapi ngapain dia gedor pintu kalau dia punya kuncinya?", batin Terre risau. 

"Lagian dia juga sekarang pasti lagi di jalan", lanjut Terre. 

Hening

         Gedoran pintu berhenti, digantikan suara kunci yang dimasukkan kemudian diputar dua kali, disambung dengan suara knop pintu yang dibuka. 

"Siapa itu?! Pencuri!! Maling!!! Rampookk!!!!", teriak Terre dengan jantung mulai memompa cepat. Refleks ia bergerak hendak meraih knop pintu, namun terlambat. Usaha terakhirnya adalah...

"TOLOOOONGG!!! RAMPOOOOOKK!!!", teriak Terre sekencang-kencangnya dengan mata tertutup
.


.
.

*** 
.


.
.

Hai! Bagaimana libur singkatnya?

Happy Eid Al-Adha bagi yang merayakan~

hati-hati darah tinggi dan kolesterol hahahaha 

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang