Angin lewat sedikit kencang membuat lembaran buku yang Deva baca dapat terbalik dengan sendirinya. Semua berjalan dengan damai dan tenang hingga Alden mulai muak dengan bacaannya.
"Tapi gue kesel banget deh. Makin hari, mereka makin kurang ajar." Alden pikir semakin hari mereka akan terbiasa dan membiarkannya hidup tenang, namun yang terjadi justru sebaliknya. Setiap gerak geriknya seperti dipantau untuk dicari kesalahannya. Ia sungguh muak.
"Udahlah, mau protes gimanapun, mereka gabakal tiba-tiba berubah." Damar mencoba menenangkan Alden, kesabaran Alden benar-benar setipis tisu.
"Bayangin, mereka kira gue gatau 1+1 itu berapa hah?!"
Satria menaikkan alisnya, "berapa?"
"11 lah." Jawaban Alden segera mendapat pentungan pulpen di kepalanya.
"akar seratus enam puluh sembilan berapa, Den?" Tanya Deva membuat Alden diam sejenak.
Dipta hampir bersuara namun tangan Alden lebih dulu menutup mulutnya, "tiga belas gasehh." Jawabnya dengan wajah penuh kesombongan.
"Lo pake kalkulator ya?" Tanya Dipta selepas berhasil menyelamatkan hidungnya dari tangan Alden yang bau pete.
"Lo ga liat tangan gue buat mbekep mulut lo?"
Mereka tengah berada di rooftop, dapat disebut ini membolos. Ah tidak sepenuhnya kok, guru sedang rapat dan mereka tidak tahan jika terus berdiam di kelas menyebalkan itu.
"Eh bikin mending kita nulis daily kita yuk, keluh kesah jadi anak tinggal kelas." Celetuk Damar menghentikan mereka dari aktivitas mereka, sekalipun Dipta dan Alden yang hampir baku hantam.
"Siapa tau ada orang selain kita yang baca ini, biar mereka tau, kita gak kaya yang mereka bayangin."
Alden sudah melengkungkan bibirnya, "satu tahun ini bakal kerasa berat pasti, tapi kayaknya gak bakal seberat itu deh kalo sama kalian."
"Alay." Celetuk Satria. Ekspresi Alden seketika berubah menjadi bombastic side eyes.
"Eh kalian pernah nyobain nasi goreng deket sini belum?" Pertanyaan random muncul dari Deva.
Oh, mereka suka ini, pembahasan tentang makanan lebih menarik dari buku yang berceceran di sana.
...
Bel pulang sudah berbunyi, namun mereka kembali ke kelas 30 menit setelah bel berbunyi. Meski sudah hampir dua minggu berada di sana, bukan hal yang mudah untuk beradaptasi.
Siapa sangka, ketika Deva tengah membereskan barangnya, hujan lebat turun begitu saja. Alden sudah terlebih dahulu pergi menuju kelas Dipta, lebih tepatnya karena mereka sedang kejar-kejaran lagi.
"Ayo." Ajak Satria yang diangguki Deva.
Baru sampai pintu, Deva berhenti membuat Satria bertanya-tanya, "Lo duluan aja, gue ada urusan sebentar." Satria hanya mengangguk sebagai respon.
Setelahnya Ia menuju arah berlawanan dari Satria. Menemukan seorang gadis yang tengah mengadahkan tangannya di bawah rintikan hujan, dengan kepala mendongak menatap langit.
"Mala." Gadis itu sedikit tersentak akibat terkejut.
"Eh, maaf." Ujar Deva kikuk, Kamala segera menggelengkan kepala.
"Kamu mau pulang? Pake apa?"
Kamala menghela napasnya, "mau pakai bis, seperti biasa. Tapi hujannya terlalu deras untuk diterobos."
Deva mengulurkan tangannya yang berisi sebuah payung lipat yang sedari tadi Ia sembunyikan di belakang, "nih pake ini aja."
"Nggak usah, Naka. Sebentar lagi juga hujannya pasti mereda." Tolak Kamala halus, Deva pasti perlu payung itu juga untuk naik bis, Ia hanya akan merepotkan Deva kalau begitu.
"Naka pulang sama temen, jadi gak perlu payung. Mala pake aja, atau mau Naka anter?"
Kamala menggeleng cepat, "tidak usah, nanti merepotkan. Ini benar Naka pulang dengan teman?"
Deva mengangguk, "Naka pulang sama Jenggala." Lalu Deva menyodorkan jaket yang sedari tadi hanya Ia sampirkan di pundaknya, "habis ini pasti dingin."
Kamala menerima payung dan jaket itu dan tersenyum dengan manis, "terima kasih ya, Naka."
Deva membalas dengan senyum lembut, "Naka duluan ya." Pamitnya lalu berbalik menuju yang lainnya.
Namun belum sempat Ia melangkah, panggilan dari Kamala membuatnya kembali berbalik, "maaf waktu Mala menunggu di depan BK, Mala sama sekali tidak melirik Naka. Mala sedih sekali sampai tidak berani mendekat. Naka pasti kesepian kemarin."
Deva menggelengkan kepalanya, "Itu udah hampir dua minggu yang lalu, Mala."
Kamala menundukkan kepalanya, "Maaf ya. Terima kasih Naka masih baik ke Mala, padahal Mala kemarin jahat."
"Terima kasih juga mau menganggap Naka orang baik." Jawab Deva memberi jempol dan senyum lebarnya.
Kamala sedikit berjinjit untuk menepuk puncak kepala Deva dan sedikit membenarkan anak rambutnya, "Naka anak baik, semangat ya, Naka. Sekali lagi, Kamala minta maaf."
Masih dengan senyum lebarnya, Deva menepuk puncak kepala Kamala, "Kamala gak boleh minta maaf lagi ya, makasih semangatnya. Naka sekarang semangat banget." Kamala mengangguk, lalu dengan senyum manisnya meninggalkan Deva yang menatap punggung yang sudah menggunakan jaketnya. Hati Deva rasanya mau meledak. Tanda tanyanya kemarin tentang mengapa Kamala bahkan tidak melihatnya sekalipun, sudah terjawab. Mengetahui kalau yang dicintainya masih peduli padanya, membuat setengah raga Deva sangat lega.
Dengan langkah ringan Ia menyusul teman-temannya yang melayangkan tatapan aneh padanya. Jenggala berpura-pura batuk, Arsa, Damar, dan Satria tersenyum aneh, lalu tom n jerry yang tadinya ribut tiba-tiba jadi terlihat akur—
"Pantesan lama banget." Alden mengangguk setuju dengan ucapan Dipta, "ternyata lagi ngapel dulu toh."
Batuk Jenggala semakin keras, malah jadi terlihat semakin tidak natural.
Deva hanya menahan senyumnya, "kalian ngapain si? Ayo jalan."
"Eh daritadi kita gak jalan karena nungguin lo ya, bisa bisanya ditanya lagi ngapain." Jenggala segera menyeret Alden masuk agar tidak protes terus, karena jujur telinganya sudah penuh dengan suara Alden dan Dipta.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinggal Kelas
Fanfiction"Semua orang bisa sekolah, tapi gak semua anak SMA bisa manggil diri sendiri sebagai anak TK."