1.

21 1 0
                                    

Suara langkah kaki terdengar mendekat, lalu secara perlahan, pintu mulai terbuka. Pak Gum memasuki ruangan kerjanya, lalu duduk di depan sederet siswa.

"Saya rasa kalian tidak terkejut ketika masuk tadi, karena pengumuman itu sudah tercantum di raport kalian." Tak ada jawaban, tujuh siswa di depannya hanya menatapnya dengan mulut rapat.

"Karena mengulang materi yang sama, saya harap kalian mendapat nilai yang bagus. Mungkin ini berat, tidak mudah juga untuk saya menerima kabar ini. Tapi saya harap, dengan ini kalian sadar dan memperbaiki diri lagi."

Hening. Setelah Pak Gum berkata, masih tak ada kata yang keluar dari barisan siswa yang duduk di depannya. Sampai pintu kembali terbuka, menampakkan sesosok guru lainnya.

Beliau duduk di samping Pak Gum, sedikit menghela napasnya lalu berucap, "saya tidak menyangka kalau hal seperti ini dapat terjadi. Jika kalian ada masalah, hubungan saya atau Pak Gum saja ya. Saya yakin kalian tidak seburuk yang mereka sangka. Jadi anak baik ya, Nak?" Bu Mayang menahan napasnya lagi, matanya sedikit memanas. Melihat muridnya terjebak di satu tahun dengan mengulang materi yang sama, itu tak mudah.

"Kami hanya ingin menyampaikan itu, saling membantu, ya?"

Setelahnya, mereka beranjak keluar. Baru saja mereka menginjakkan kaki di teras, terdapat empat orang yang sepertinya menunggu mereka keluar dari ruang BK.

Salah satu dari mereka menyadari kalau yang menunggu mereka adalah orang yang dikenalnya lantas sedikit mendekat, "Nin?"

Anindya menatap Jenggala lalu Dipta, "Kalian tuh kenapa?" Tanyanya sambil menahan tangis.

"Sorry." Hanya itu yang dapat diucap Jenggala, Dipta hanya membisu.

"Kalo kita beda gedung, nanti gue sama siapa?" Karena biasanya setidaknya setiap istirahat, Anindya mendapat teror dari sepupunya untuk membawakan makanan untuknya dan Dipta. Anindya akan mengomel namun tetap menjalankan perintah tuan Jenggala.

Jenggala tertawa, "lah itu sama bulan, masa lo lupain dia gitu aja."

Dipta menepuk puncak kepala Anindya, "kita cuma beda gedung, bukan beda alam." Ucapannya itu tentu membuat Anindya menginjak kakinya.

Di sisi lain teras, dua siswi lainnya juga tengah menahan tangis.

Damar tertawa, "aduh cewek cewek gue kenapa pada kusut banget sih mukanya?" Tanyanya sambil tersenyum dan menaikkan alis.

"Gue gak terima banget lo gak naik kelas." Ucapan Bulan sedikit terbata karena menahan tangis, Kamala disampingnya tak berucap sepatah katapun, hanya mengusap pundak Bulan sembari mengelap pipinya yang sedikit basah.

"Kenapasih? Kan cuma ga naik kelas." Damar tersenyum geli melihat beberapa siswa di depan teras BK yang wajahnya terlihat sedih.

"Pake nanya." Usaha Kamala untuk melawak berhasil membuat Bulan tertawa dan senyum Damar semakin lebar, walau Ia mengucapnya dengan suara yang bindeng seperti orang flu.

Ke sebelah kiri teras, satu siswa nampak mengamati bagaimana temannya itu memakai sepatu, "Bro?"

Arsa mendongak dengan senyum kecilnya, menaikkan alis seperti bertanya, 'apa?'

"Explain." Jawab Calvin, namun Arsa hanya diam sampai selesai menalikan sebelah sepatunya.

Ia berdiri lalu menepuk pundak temannya, "semua orang pasti tau kenapa bisa ada anak gak naik kelas."

Calvin menggeleng, Ia tak terima dengan jawaban Arsa, "lo gak ngelanggar aturan apapun, dan selalu ngerjain tugas. Apa ini masuk akal?"

Arsa menganggukkan kepalanya, "masuk akal, gue ngerjain tugas doang. Gatau gimana hasil kerjaan gue itu bener atau salah."

Tinggal KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang