5.

4 2 0
                                    

Setelah menunggu dengan cukup lama karena Deva yang ternyata sedang menemui doi, akhirnya mereka pergi menuju rumah Jenggala. Sepertinya lama kelamaan, rumah Jenggala akan menjadi markas mereka.

"Ayo lawan gue siapa yang berani?" Tantang Alden dengan bola basket di tangannya, Ia sudah siap untuk bertanding. Mereka tengah di lapangan basket yang ada di halaman belakang rumah Jenggala.

"Halah nanti kalah nangis." Alden tak menghiraukan ucapan Dipta, Ia segera menuju Arsa, Deva, dan Damar yang hanya bersebelahan di dekatnya.

"Ayo, 4 lawan 3, berani gak lo?" Lagi, Alden menampakkan wajah songongnya.

Dipta berkacak pinggang, "Lah masa yang nantang anggotanya lebih banyak. Deva lo pindah kesini cepet, jangan mau sama dia."

Dengan segera, Alden berdiri di depan tiga temannya seolah tengah melindungi mereka dari culikan musuh.

"Gak ada, udah gini aja."

Deva segera menengahi, "mending tiga lawan tiga aja, gue juga gak bisa main basket soalnya." Ujarnya dengan cengiran.

Alden menoleh terkejut dengan dramatis, "omaygat, gak bisa begitu. Berarti lo harus latian dulu, ayo latian." Yang lain mengangguk setuju.

Deva menggeleng cepat, "engga, nggak usah. Gue nonton aja."

"Oke class, pelajaran pertama hari ini adalah cara dribble yang benar." Ucap Jenggala tiba-tiba, Ia segera mengambil bola basket lalu memantulkannya berkali-kali menuju tengah lapangan. Hal itu disambut dengan excited oleh yang lain, Damar segera menarik Deva untuk mendekat, disusul dengan yang lain.

...

Suara dentingan terdengar dari sendok dan piring yang beradu, "Gimana sekolahnya, 'A?"

Arsa menatap mamanya sebentar, "Seru. Kaya biasa aku sekolah."

Mama menatap Arsa sendu, " 'Aa gapapa? Setelah dua minggu ini, gimana sekolahnya?"

Arsa tertawa, "mama belum aku ceritain lengkap soal temenku sih, kalo mama tau, mama pasti gak bakal nanyain ini. Soalnya sekolah rasanya lebih seru dari sebelumnya!" Ujarnya dengan semangat. Mendengar itu, mama turut semangat untuk mendengar lebih lanjut cerita anaknya sembari dirinya memisahkan ikan dari durinya.

"Kalo dulu di kelas, aku ngobrol sama temen kelasku kalo memang ada tugas atau ngobrol seperlunya. Karena gaada yang beneran deket kecuali Calvin. Kalo kali ini, sama sih, temen kelasku malah kayaknya suka ngomongin aku sama temenku karena kita istimewa. Tapi bedanya, di kelas ada yang namanya Dipta, dia kalo ada mata yang ngeliatin kita langsung dia semprot bahkan diajak ribut. Gak serius diajak ribut, tapi respon freak nya itu bikin ketawa. Ada juga Jenggala, dia nggak peduli apapun selain tidur dan karena itu, Dipta selalu ngeganggu dia. Beberapa kali ini, rumah Jenggala selalu jadi tempat kita buat ngumpul. Mama gak perlu khawatir, kalo aku belum pulang, kemungkinan besar aku di rumah Jenggala."

Mama tersenyum lebar, "Iya? Kayaknya mama harus minta nomer temen-temen kamu nih."

Arsa mengangguk, "boleh, nanti aku kasih enam kontak." Jawabnya sembari menerima suapan ikan dari mamanya.

Mama mengerutkan keningnya, "kok enam?" Tangannya meletakkan ikan yang sudah bebas dari duri nya. Lalu beranjak untuk mencuci tangan.

Arsa memandang punggung mamanya yang berada di depan wastafel, "Karena yang tadi diceritain itu baru temen kelas."

Mama mengangguk lalu duduk di sebelah anaknya, masih setia mendengar celotehan yang sudah lama sekali tak Ia dengar, "dari jurusan MIPA ada Alden, Deva, sama Satria. Alden tuh ajaibnya mirip Dipta, Deva kalem tapi perhatian, dan Satria, dia pinter banget, cara dia ngajarin temennya itu bikin materi keliatan lebih mudah, bahkan aku yang beda jurusan aja paham sedikit. Terus dari jurusan Bahasa ada Damar, dia satu-satunya anak bahasa diantara kita, gak ada yang tahu gimana kondisi kelas Damar, tapi dia bilang kelasnya gak seganas anak kelas kita. Semoga aja."

Mama mengambil tisu dan mengelap sudut bibir Arsa, mengelus puncak kepala anaknya, "sering sering update daily life ya 'A, mama juga pengin kenal sama temennya 'Aa."

Arsa tersenyum senang, "dengan senang hati, ma."

...

Ketukan pintu terdengar disusul dengan sebuah kepala yang menyembul di sela pintu, "ayo makan malem."

Satria masih terfokus pada komik yang lalu menggeleng, "gak laper gue."

Satya hanya mengendikan bahu, "terserah." Lalu suara pintu tertutup terdengar.

Satria menarik napasnya sejenak, merebahkan dirinya dan menutupi wajah dengan komiknya. Itu terjadi beberapa menit sampai notifikasi dari ponselnya terdengar.

Melihat siapa yang mengiriminya pesan membuat Satria menarik sudut bibirnya, segera Ia tekan notifikasi itu untuk melihat pesannya, membuat senyum yang timbul kemudian berubah, Ia terduduk dan menegakkan punggungnya.

Segera Ia tekan tombol call, Satria perlu memastikan apa yang baru saja Ia baca. Tidak menunggu waktu lama sampai akhirnya suara yang Ia rindukan terdengar.

"Satria."

"Lo lagi ada masalah? Ayo cerita, jangan gini, Na."

Hening, tak ada jawaban dan Satria pun tak berniat untuk kembali berbicara.

"Sat, maafin gue." Jawabnya lirih.

"Na, are u okay?"

"Satria."

"Adan. Gue Adan."

Reina terkekeh, "dulu lo misuh misuh kalo gue panggil begitu."

Satria menggeleng walau lawan bicaranya tentu tak akan melihat gelengannya, "gue suka dipanggil Adan, Dana, Anad, atau apapun itu."

"Kalo Wardana?" Suara Reina terdengar sedikit jahil, Satria menarik sedikit sudut bibirnya.

"Iya, gue suka. Asal lo yang manggil."

Terdengar helaan napas dari seberang, "Tapi kayaknya gak bisa, Dan."

Satria menaikan satu alisnya, "kenapa?" Ia masih tidak mengerti mengapa Reina bersikap aneh seperti ini.

Beberapa detik hanya diisi oleh angin, sampai orang di seberang kembali bersuara.

"Ayo putus."

Pikiran Satria tak dapat memproses apapun, kalimat yang Ia baca barusan di roomchat, sekarang malah terucap dari seseorang yang sangat Ia rindukan.

"Kenapa?" Tanya lirihnya yang hampir terdengar seperti bisikan.

"Gue suka orang lain, dan gue juga malu punya pacar kaya lo." Ujar Reina terdengar yakin tanpa terdengar sedih.

Satria mengangguk, faktanya Ia memang memalukan jadi Ia terima itu. Jika Reina sudah berkata dengan lantang tanpa terdengar ada keraguan, Satria harus apa? Ia ingin mencari celah untuk meyakinkan dirinya bahwa Reina bukan bermaksud begitu, namun Reina terdengar sangat yakin.

"Gue minta maaf karena gak bisa disamping lo terus. Semoga lo bahagia terus ya, Satria."

"Lo juga, Lareina." Lalu percakapan berakhir begitu saja. Tatapannya menjadi kosong, bahkan tangan yang memegang hp itu hanya menggantuk di udara, masih belum mencerna apa yang baru saja terjadi.

Kembali Ia rebahkan tubuhnya, menutup matanya dan mencoba untuk tidur. Walau ada sedikit sakit di dadanya, namun apa yang bisa Ia lakukan kecuali menerimanya?

Tinggal KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang