Bagian 1

336 12 0
                                    

AU Part 2-4

Lorong kosong dalam sebuh rumah sakit menjadi pemandangan yang ditatap seorang gadis mudah sejak beberapa puluh menit lalu. Dia hanya bisa menangis, menanti kabar dari seseorang yang ditangani di dalam UGD. Satu-satunya keluarganya tiba-tiba sakit. Dia takut kehilangan lagi.

"Talishia. Udah, gak papa. Tenang dulu, ya? Berdoa buat papmu."

Gadis berusia 22 tahun bernama Talishia itu mendongak dan menatap tantenya. Wanita itu paham akan tatapan Talishia yang penuh luka, lalu memeluknya.

"Udah sayang. Pasti papa kamu baik-baik saja."

"Talishia takut, Tante. Cuma Papa yang Talishia punya..."

"Terus Tante sama Om ini apa?" tanya tantenya. "Kita juga keluarga."

"Ini semua gara-gara Talishia. Gara-gara Talishia bandel. Talishia gak nurut sama Papa. Talishia main terus gak pernah perhatian sama kesehatan papa."

"Bukan salah Talishia. Memang papamu lagi ada masalah sama perusahaannya," ucap tantenya. "Tapi Talishia tenang aja ya. Papa kamu akan baik-baik saja. Masalah di perusahaan juga bakal dibantu sama om kamu. Sekarang kamu tenang ya? Berdoa. Shalat sana. Udah masuk maghrib."

Talishia mengangguk. Dia melepaskan pelukannya pada sang tante. Berjalan gontai menuju mushola rumah sakit untuk berdoa bagi pria yang paling dia sayangi di dunia. Satu-satunya yang dia punya.

**

"Nih, minum dulu."

Talishia menerima sebotol air mineral dari seorang gadis berambut kemerahan yang baru saja dating. Dia membawa sekresek cemilan. Bersamanya ada seorang gadis tinggi tegap berbadan proporsional bak model internasional. Mereka adalah sahabat Talishia, Bianca dan Mikha. Mereka ada di rumah Talishia sekarang, menemani gadis itu yang sedang galau banyak pikiran.

"Udah, gak usah sedih," ucap yang baru saja memberikan minuman pada Talishia; Mikha. Gadis itu langsung naik ke ranjang, duduk bersila di samping Talishia. Sementara Bianca duduk di kursi meja belajar, menghadap kedua sahabatnya.

"Papa lo kan udah baik-baik saja. Stroke ringan, kan? Tetangga gue juga gitu dulu, malah lebih para dikit. Sekarang udah bisa naik motor kemana-mana beli bakso buat anaknya," tukas Mikha.

"Tetep aja," kata Talishia lesu. "Gue prihatin sama Papa. Dia sakit karena banyak pikiran. Mikirin perusahaan, mikirin gue. Gue malah gak pernah merhatiin Papa sama sekali. Papa pasti mikirin gue yang skripsi gak kelar-kelar. Mikirin gue yang suka clubbing, balik-balik bau rokok, bau alcohol. Kemarin aja pas gue balik ke club terakhir kali Papa nungguin gue sampai tengah malam. Habis gue diceramahin, malah gue gak dengerin. Masuk kamar gitu aja. Gue kunciin."

Mikha yang ada di samping Talishia tersenyum, menepuk bahu sahabatnya.

"Omong-omong Ta," kata Bianca. "Skripsi lo apa kabar? Kemarin katanya mau bimbingan. Gak jadi dong, karena papa lo mendadak sakit?"

Talishia mengangguk. "Iya. Gue udah bilang Pak Avan kalau papa gue sakit. Jadi, ya... batal. Belum chat lagi ada waktu kapan. Mana revisi terus. Capek gue."

Talishia menghela nafas berat, menegak minuman yang sejak tadi di tangan.

"Santai Ta. Gue juga belum kok," kata Bianca. "Susah di data gue. Harus nyari ke perusahaan. Mana gak ACC dari perusahaan harus pindah. Udah dapet perusahaan, datanya yang gak ada. Akhirnya gue pakek jurus orang dalam."

"Ya, lo ngapain gak dari awal pakai orang dalam. Gue udah bilang, kan? Chat aja papa lo. Ngapain sungkan segala?" celetuk Mikha.

"Ya, masa tiba-tiba gue unblock terus minta tolong. Ya gak logic lah, ya. Tapi sekarang udah sih. Tinggal bimbingan aja."

Pasangan HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang