Page 5: Pundak siapa yang bisa disandari? Ada aku (JM)

8 0 0
                                    

"Na, kalau nanti aku capek tolong jangan ditinggal ya," pintaku pada laki-laki yang terlahir dengan senyum manis ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Na, kalau nanti aku capek tolong jangan ditinggal ya," pintaku pada laki-laki yang terlahir dengan senyum manis ini. Na Jaemin, namanya. Laki-laki yang tahun ini akan merayakan usia yang ke dua puluh tiga tahun pada tiga belas agustus nanti. Dia mengangguk lalu tangannya terulur, mengusap lembut pipi kiriku. Tentu senyuman itu, senyuman manisnya tidak terlupa.

"Iya sayangku, tapi kamu juga harus janji jangan pulang dulu." Sudut bibirku tertarik, Nanaku ternyata tahu, sudah sering aku mencoba untuk pulang sendiri.

"Aku tahu sayang, aku tahu semuanya," katanya lagi. Lalu dia memelukku dengan erat, entah mengapa jantungku berpacu lebih kencang. "Jangan pulang, jangan."

Aku menangis, "Na, hatiku sakit, sakit sekali sampai rasanya napas saja sesak. Aku... capek!"

Nana mengusap punggungku yang bergetar, sungguh rasanya sesak sekali. Aku juga sudah lupa kapan terakhir kali aku menangis, karena semua yang ada di dunia ini sudah hambar, lukanya sudah banyak, aku pun bingung bagian mana lagi yang masih apik untuk dinikmati meski sekedar dilihat.

"Ada aku. Pundakku kosong, kamu bisa nangis disini, kamu bisa bersandar disini."

Aku menggeleng, "Pundakmu milik orang lain, Na. Aku bukan siapa-siapa."

"Udah bukan lagi." Aku lega, kamu bukan milik siapa-siapa. Kami terdiam dalam posisi masih berpelukan. Lama.

"Kamu?" tanyamu yang tak aku mengerti.

"Aku kenapa?" Kamu tertawa kecil. Aneh, tapi kamu selalu begitu, ini kamu, Na.

"Kamu bukan milik siapa-siapa kan?" tanyamu lebih jelas.

"Oh, hahaha aku milik diriku sendiri," jawabku sambil terkekeh. Lalu kami terdiam lagi, seperti dua sejoli yang kebingungan mencari topik pembicaraan tapi kami tidak begitu, kami diam karena kita lega, aku lega sebab dia bukan milik orang lain dan dia lega juga sebab aku tidak berpunya.

"Jadi?" tanyamu lagi, kali ini terdengar menyebalkan.

"Apa? Yang jelas tanyanya jangan satu dua kata, aku gak ngerti."

LIhat dia malah tertawa, aneh sekali. Lalu dia menatapku dengan serius, "Jadi, ayo berpacaran biar pundakku bisa kamu sandari." 

Just What I Want to Say Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang