Masa Kini (1)

3.3K 180 4
                                    

Repost cerita lama, sekaligus ku edit lagi.

**

Duduk di depan teras rumah merupakan kegiatan kesukaan Adis di desa tempat tinggalnya saat ini. Tidak ada manusia atau kendaraan berlalu lalang yang mengganggu Adis. Yang ada hanya suara serangga malam saja, biasanya jangkrik dan tonggeret. Terkadang Adispun mendapati kunang-kunang di tempat ini. Tidak banyak, paling banyak hanya dua ekor saja.

Suara serangga malam yang bersahutan tidak membuat suasana desa ini terasa ramai. Kesunyian desa ini malah lebih terasa. Tidak masalah bagi Adis. Ia malah lebih menyukainya.

Kepala Adis mendongak ke atas untuk melihat langit malam.

Masih sama..

Tidak ada satupun bintang pada langit malam ini. Ia sudah menunggu taburan cahaya angkasa menampakkan diri beberapa hari ini. Namun sepertinya yang ditunggu malah senang menyembunyikan diri.

Padahal salah satu alasan Adis betah tinggal di desa ini adalah langit malamnya.

Sudah berapa tahun ia tinggal di sini? 1 tahun? 2 tahun? Atau sudah 5 tahun?

Adis tidak ingat. Rasanya ingatannya mengabur dan berubah-ubah sepanjang waktu.

Apa karena Adis sering melamun? Fungsi otaknya mungkin mengendur saat ia terlalu banyak melamun.

Pada akhirnya pandangan Adis kembali merunduk, menatap apa yang ia bisa lihat pada kegelapan malam di depannya.

Ah... lihat titik-titik cahaya mirip bintang itu! Dari kejauhan memang mirip cahaya bintang. Hanya saja titik-titik cahaya itu tidak berkedip ataupun membentuk sebuah rasi bintang.

Titik-titik cahaya yang Adis lihat saat ini merupakan cahaya lampu rumah warga yang berada di kejauhan. Rumah Adis berada di dataran yang cukup tinggi di banding dengan rumah warga lainnya. Sehingga dari rumahnya ini, ia bisa melihat lampu-lampu indah itu.

Meskipun tidak seindah cahaya bintang kesukaannya, Adis tetap menikmatinya. Apapun yang ada di desanya ini nyatanya membuat nyaman seluruh indera Adis.

Desa ini merupakan kampung halaman ibunya. Rumah yang ia tinggali saat ini adalah rumah masa kecil ibunya, tepatnya rumah kakek dan neneknya.

Dulu, Adis berkunjung ke rumah ini hanya ketika momen liburan sekolah atau hari raya tertentu. Namun kini ia beserta keluarganya tinggal menetap di rumah ini.

Adis tidak begitu ingat bagaimana keluarganya bisa pindah ke desa ini.

Seingatnya, setelah kakek Adis meninggal, orang tua Adis memutuskan untuk pindah dan melanjutkan usaha perkebunan kakek dan neneknya.

Kakek Adis merupakan pemilik perkebunan yang cukup luas di desa ini. Menurut ayah Adis, sangat disayangkan jika perkebunan kakeknya tidak diurus kembali. Banyak warga desa yang akan kehilangan mata pencaharian jika perkebunan kakek tidak diteruskan. Sebagian besar warga desa ini memang bekerja pada perkebunan kakek Adis. Oleh karena itu kakeknya mendapat julukan juragan dan sangat disegani oleh warga desa ini. Semua itu berlaku juga pada keluarga Adis.

Adis jadi terkekeh sendiri mengingat bagaimana para warga menyapanya begitu ramah, bahkan kadang berlebihan. Kalau dipikir-pikir lagi, keramahan warga di sini merupakan sebuah hak istimewa yang tidak akan pernah Adis dapatkan sewaktu Adis masih tinggal di kota.

Adis menghela napas ketika mengingat tempat di mana ia dibesarkan itu. Sejujurnya, Adis rindu tinggal di sana, bukan berarti Adis tidak betah tinggal di pedesaan ini. Hanya saja terkadang ia rindu dengan teman-temannya.

Kota itu sekarang hanya menjadi kenangan dalam hidup Adis.

Terkadang rencana untuk kembali tinggal sendiri di kota itu, terlintas di kepala Adis. Nyatanya sampai sekarang Adis belum melakukannya. Ia belum berani mengambil keputusannya sendiri, padahal kalau dilihat dari umurnya Adis ini sudah dewasa.

Roda Yang Terhenti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang