7

7 1 0
                                    

Tuhan telah menciptakan garis takdir kalian masing-masing, jangan terburu-buru sabar ya.. Tuhan adil kok.
~~~


Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidur dengan posisi kayak gini. Sangat tidak septi sih mengingat ini di kereta bukan di kasur. Tapi mengingat aku yang baik-baik aja berarti aku aman selama terlelap tadi. Aku belum melepaskan pelukanku pada Gilang walaupun kesadaran ku sudah terkumpul semua. Biarlah, lagian aku seperti kepengen membagi sakit ke dia. Dan seketika aku menepuk jidatku, pantesan sakit sekali perut bawahku.

Ini awal bulan Reina.

Aku sedikit tidak suka akan kewajiban perempuan yang satu itu, ya halangan. Kalau dia datang tanpa memberi rasa sakit sih ya tidak masalah, namun kalau kayak gini rasanya iri sekali melihat perempuan yang bahkan bocor dulu baru tahu kalau mereka halangan apa tidak.

Aku semakin merasakan perutku yang dililit dibawah. Seakan-akan ditimpa ribuan ton beban sampai-sampai sesakit itu. Aku tidak tahu ini masuk ke ciri-ciri aku halangan apa tidak, yang jelas kalau aku mau halangan biasanya aku selalu menguap, keringatku banyak, mukaku pucat, dan yang paling parah sakit kram perut yang hampir pernah membuat diriku meminum pel tidur saking tidak tahunya lagi bagaimana meredakan penyakit ini. Ada tidak ya yang seperti aku ini.

"Gilaaangg" panggilku yang sudah mulai merasakan sakitnya.

Gilang tidak menjawab, namun menoleh sebentar ke belakang sebelum kembali fokus ke jalan raya. Biasanya kalau aku sedang halangan begini, hal yang pengen aku tuju itu ya tempat tidur. Aku pengen tidur secepatnya agar tidak perlu merasakan sakitnya.

"Perutku sakit kali. Ini gada tempat istirahat ya?" Tanyaku yang berharap cepat-cepat bertemu kasur. Aku sudah tidak tahan lagi.

Aku sudah melepaskan pelukanku dan kini malah fokus menekan perut bawahku. Berharap sakitnya jangan kumat kali, bagaimanapun tolonglah ini di perjalanan bukan di kasurnya tempat dia terbiasa menangis menahan sakitnya dan kemudian terlelap.

"Kenapa kau? Itu dah mau nyampe sih menara pandang Tele nya. Bentar," jawabnya yang sukses membuatku memperhatikan sekelilingku. Iya juga ya, berarti aku udah lama dong tidurnya sampai tidak sadar sudah disini aja. Ini antara Gilang yang kecepatan bawa motornya atau aku yang benar lama tidur ya?

Hampir setengah jam dari kata bentar tadi, akhirnya kami beneran sampai di menara pandang Tele. Menara pandang yang langsung menghadap ke danau Toba. Kalau aku dalam keadaan sehat sekarang, sudah dipastikan disegala sudut aku meminta di fotoin, namun melihat saat baru turun dari kereta saja perutku kramnya kumat membuatku buru-buru langsung jongkok.

Menurut perkiraanku ya, halangan itu hampir mirip sama orang yang sedang hamil. Dari segi hormonnya yang ada marah, ada sesi pengen ngemil banyak-banyak bahkan ada yang kadang berubah sifatnya. Sebenarnya sih hampir mirip, bedanya saat hamil ovum benar-benar udah dibuahi oleh sperma jadi ada pertumbuhan di sana, sedangkan kalau halangan terjadi peleburan karena ovum yang matang tidak di buahi. Saat di kelas waktu itu, kram waktu halangan katanya adalah hal yang biasa karena sejatinya dinding rahim kita seperti dikerus karena tidak dibuahi, namun jika berlebihan apalagi kayak aku ini sepertinya sudah disarankan periksa sih. Cuman aku aja yang takut dan memilih menahannya dan mencoba menguatkan diri.

Ini keistimewaan seorang perempuan yang seharusnya aku syukuri.

Melihat aku yang buru-buru jongkok, membuat Gilang yang baru saja membuka helmnya langsung ikutan jongkok juga.

"Kau kenapa Na? Perasaan tadi kau full ceria, ngomel, ini malah kayak gini."

Aku tidak menjawab dan aku pikir juga jangan dijawab. Bisa-bisa Gilang terkena serangan jantung karena tiba-tiba di marahi di teriaki karena pengaruh pms. Yang kulakukan hanya memegang lengannya bermaksud membagi sakit ke dia. Aku sedikit mengeratkan pegangan ku itu.

Keep NotesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang