Satu kata yang bisa aku ungkapkan saat ini yaitu, hancur.
Seluruh duniaku hancur, tak tersisa sedikitpun. Bahkan aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi setelah semua ini terjadi.
Perasaanku? Apa itu perasaan? Mungkin mati rasa adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisiku saat ini.
Apa yang akan kalian lakukan jika menjadi aku? Dalam sehari, semua yang aku miliki hilang.
Persetan dengan harta kekayaan atau warisan, semua itu tidak penting. Apa gunanya semua harta yang melimpah itu, jika keluargaku tidak bisa diselamatkan.
Aku bisa hidup miskin tanpa harta, tapi bagaimana bisa aku hidup tanpa keluargaku. Hanya mereka yang aku butuhkan saat ini, tapi nyatanya mereka sekarang telah tiada.
Gundukan tanah itu menandakan jika mereka benar-benar sudah tiada. Bukan hanya satu orang, tapi tiga orang sekaligus. Mereka pergi meninggalkanku tanpa pamit.
"Maaf nona, sebentar lagi akan hujan deras. Sebaiknya nona menginap dirumah saya." Ucap om Heno, mantan sekertaris papaku.
"Ga usah om, aku masih mau disini. Om duluan aja, nanti aku nyusul."
"Tap-"
"Om tenang aja, aku udah gede kok."
Aku tersenyum untuk meyakinkan om Heno dan akhirnya om Heno pergi meninggalkanku.
Bukankah semua orang memang akan meninggalkan kita sendiri?
Aku kembali menatap ke arah tiga gundukan tanah yang dibawahnya berisi peti milik keluargaku. Papa, mama dan adikku meninggal karena kecelakaan, yang disengaja.
Paman serakahku sepertinya sangat menyukai harta, hingga dia rela membunuh nyawa adiknya sendiri. Semua itu hanya demi harta, harta dan harta.
"Pa, ma, Jeo..."
"Aku tinggal bentar ya, nanti aku nyusul."
Dengan tatapan kosong, aku menuntun kakiku berjalan entah kemana. Area pekuburan sangat sepi karena tempat ini masih dalam pembangunan.
Beberapa bangunan besar yang jaraknya cukup dekat dengan pekuburan, akan dibangun menjadi pusat perbelanjaan yang baru.
Perlahan aku berjalan mendekati salah satu bangunan yang sangat tinggi, tempat itu masih kosong. Siapapun bisa masuk dan naik ke atas, begitu juga denganku.
"Hah..."
Pemandangan disini sangat indah, aku bahkan bisa melihat pusat kota dibawah sana. Kendaraan berlalu lalang, orang-orang juga beraktivitas seperti biasa.
Dunia tidak akan berhenti jika aku mati bukan? Kenapa tidak kita coba saja?
Sekuat tenaga aku memanjat ke atas pembatas, lalu menatap ke bawah.
"Wah pasti sakit..."
"Memang. Makanya jangan lompat kalo ga mau sakit."
Dengan cepat aku membalikkan badanku, saat mendengar suara seseorang dibelakangku. Nampak seorang pria berdiri dengan santai sambil merokok, dia menatapku dengan wajah datarnya.
Wajahnya tidak terlalu kentara karena tertutup dengan topi, celana abu-abunya menandakan bahwa dia adalah seorang murid SMA.
"Kalo mau bunuh diri jangan disini, kasihan nanti tokonya ga jadi dibuka karena ada yang gentayangan." Sindirnya.
Dengan kesal aku turun, lalu berjalan ke arahnya. Rasanya aku ingin menampar wajah menyebalkan itu, tapi aku terlalu malas untuk menanggapinya.
Tidak ingin berlama-lama dengannya, segera aku berjalan menjauhinya. Tapi sayangnya, tangannya lebih cepat menahanku.