The Jealousy

32.9K 4K 198
                                    

Hari ini hari ketiga Mama dirawat di rumah sakit. Siang ini hanya ada aku dan Dani yang menunggu Mama. Papa harus kembali ke desa untuk mengurus beberapa pekerjaan.

Mama terlihat masih ogah-ogahan bicara denganku, ada ekspresi terpaksa saat dia berinteraksi denganku. Tidak usah tanya kenapa, jelas saja dia masih kesal dengan kelakuanku beberapa hari yang lalu yang membuatnya malu di depan Ayash.

Tapi ya sudahlah, kalau dia kesal memang wajar karena aku membuatnya malu. Aku juga punya hak untuk kesal juga kok, jadi anggap saja impas. Untuk sementara waktu aku memutuskan untuk tidak melakukan hal yang membuat orangtuaku kesal. Aku memang pantas mendapat title anak durhaka, namun aku harus tetap waras untuk tidak membuat onar disaat Mamaku sedang sakit.

"Bude, nanti malem anak-anak kampung mau ke sini." Dani memecah keheningan ruangan sambil membaca group chat yang berisi anak muda desa.

Aku yang di sampingnya, diam-diam ikut membaca isi percakapan di dalam group tersebut.

"Ke sini pick up?" tanyaku tanpa sadar karena kaget melihat salah satu chat di dalam group yang mengatakan bahwa pick up yang mereka gunakan sudah disiapkan.

"Iya, kemarin ibu-ibu juga naik pick up ke sininya. Desa sebelah malah naik truk loh Mbak kalau besuk tetangga," terang Dani.

"Loh, emang masih boleh? Bukannya sekarang udah nggak boleh ya? Bisa ditilang polisi tahu," kataku berdasar pengetahuanku.

"Di sini masih banyak yang pakai kendaraan kayak truk, pick up, buat nganterin orang. Mbak jangan-jangan nggak pernah ya pergi kemah atau persami naik truk bareng temen-temen sekolah?" tebak Dani dengan jari telunjuk menunjuk ke arahku.

"Emang nggak pernah! Kan ada bus, ada mobil. Emang lo pernah? Bukannya sampai SMA lo di Jakarta ya?"

"Pernah waktu TK, Mbak. Aku kecil di sini. Dulu aku naik truk ke Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri naik truk. Seru banget ngintip jalan lewat sela-sela pembatas atas truk. Terus naik truk atau pick up itu anginnya mantep loh, Mbak. Langsung AC alami gratis. Cobain deh, Mbak."

Aku berdigik sambil menggelengkan kepala. "Ogah banget. Ada kendaraan lain yang lebih safety, kenapa harus uji nyali naik gituan?"

"Bukan uji nyali. Kepepet aja, kan sewa truk lebih murah daripada sewa Bus. Terus truk juga lebih gampang didapetin daripada Bus, atau ngetukin rumah warga satu-satu buat ngumpulin mobil buat pergi rame-rame. Di desa banyak yang punya truk atau pick up, Mbak, jadi orang lebih suka cari yang gampang aja."

Aku mengangguk sambil teringat mobil pick up milik Papa yang biasa digunakan untuk mengantar telur, atau sapi yang akan dijual.

"Eh... Jangan bilang pick up yang mereka naiki itu bekas buat nganterin sapi?"

"Loh, lha iya to. Itu pick up biasanya minjem ke orang peternakan. Punya Pakde bisa, atau punya peternakan Mas Ayash juga bisa."

"Ih... bau dong! Itu orang-orang betah? Aku biasanya lihat sering ada kotoran sapi sama jerami-jerami  di pick up Papa."

Membayangkannya saja sudah membuat perutku mual. Sungguh sam sekali nggak human friendly kalau harus desak-desakan di atas pick up yang bau kotoran sapi!

***

Di dalam ruangan Mama, ada Papa, Dani, dan tidak ketinggalan si anak yang katanya baik sedang menggelar tikar. Ruangan di mana Mama dirawat memang luas karena merupakan ruangan kelas 1. Aku tidak melihat ada papan bertuliskan ruang Vip, jadi mungkin ruangan kelas 1 di sini bisa dikatakan sebagai Vip-nya.

Mereka yang di dalam sedang menyiapkan tempat untuk anak-anak muda desa yang kata Dani akan datang membesuk. Di sudut ruangan juga sudah ada tumpukan kardus air mineral yang kembali dibawa Ayash barusan. Sementara itu aku duduk di luar ruangan, seperti yang aku katakan kemarin. Aku tidak akan sukarela membantu karena tidak ada gunanya.

Clumsy SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang