Sepuluh

410 73 9
                                    


Sekarang kalau sudah kayak gini gimana?

Dokter Tirto akhirnya merujukku ke rumah sakit di Pancoran. Tempat yang menerima pasien BPJS, kerena kebetulan aku juga terdaftar dan rutin bayar iuran. Bapaklah yang mewanti- wanti semua anggota keluarga kami untuk mendaftar BPJS kesehatan. Supaya kalau sakit nggak ribut mikir biayanya.

Aku ditempatkan satu ruangan dengan abege yang mengidap tipus dan sedang ditunggui pacarnya.

Sepanjang malam mereka asyik ngobrol, sementara yang nungguin aku kan bapak. Terang aja bapak lebih suka nonton siaran langsung sidang anak pejabat yang sempat menghebohkan netizen beberapa bulan yang lalu, ketimbang mengajakku ngobrol. Uh, sebel!

Ponsel juga sepi macam kuburan. Teman- temanku belum ada yang datang menjenguk, tapi ibu sudah menelepon ke kantor . Aku merana. Gabut. Boring. Mati gaya. Pokoknya semua yang nggak enak- nggak enaknya ngumpul jadi satu.

Tepat pukul delapan malam, aku punya pengunjung pertama selain keluargaku. Yaitu Disa dan--- oh my God! Alvin!

Yap. Dalam balutan kemeja berlengan panjang warna biru tinta dan celana chino hitam. Rambutnya ditata sedemikian rupa menggunakan gel, kacamata yang bertengger di hidung mancungnya menambahkan poin kegantengan pria berusia 32 tahun itu.

Pokoknya cakep banget deh! Seketika aku lupa kalau aku lagi sakit. Dan malah sibuk cengengesan.

Tapi menilik penampilanku yang sekarang tentu saja mirip gembel kolong jembatan, mau nggak mau aku jadi minder sendiri. Dibandingkan Disa yang malam itu tampak anggun dalam balutan kemeja warna putih polos dan pleated skirt warna salmon serta hijab pasmina yang berwarna senada dengan roknya sih, aku terkesan mirip babunya Disa malah.

Tiba- tiba aku manyun. Kehilangan kesempatan untuk ngobrol berdua dengan Alvin.

"Kenapa Mbak? Kok begitu mukanya?" tanya Disa dengan nada khawatir. "Mau aku ambilin sesuatu?"

"Nggak usah,"

"Gimana perasaan lo, Fen. Udah enakan?" kali ini Alvin yang bertanya. Raut wajahnya tampak khawatir. Ah, pasti dia khawatir kan sama aku? Setelah melihat keadaanku, apakah dia akan perhatian?

"Ya gini deh. "

"Makanya, kalau udah keluar dari sini, elo harus mulai hidup sehat." Ujar Alvin seraya tersenyum lembut. Uh! Sumpah deh, ganteng banget ini orang! Waktu dalam kandungan nyokapnya ngidam apaan ya, sampai melahirkan pria secakep ini?

"Kata dokter sih untung belum terlambat. Gue masih Selamat. Masih hidup. Masih bisa lihat ka... eh, kalian semua." Aku tersipu.

"Ya udah. Entar kalau sembuh, gue bakalan bantuin lo supaya disiplin olahraga, gimana?" tawar Alvin tetap  dengan muka ramah.

Hatiku semakin mekar. Ya Ampun! Olahraga bareng Alvin? Siapa yang nggak mau! Orang itu pasti tolol banget deh!

"Kenapa, Mbak? Kok jadi senyum- senyum sendiri?" tiba- tiba Disa nyeletuk.

"Ha? Eh, enggak kok. Enggak."

***

Sudah tiga hari aku tinggal di rumah sakit. Dokter Tirto mengatakan bahwa keadaanku sudah semakin membaik. Pusingku pun berkurang. Rasa kaku yang belakangan sering menekan bagian belakang leherku pun kini sudah enyah sedikit demi sedikit.

Fat And Fabulous Where stories live. Discover now