Delapan Belas

246 36 1
                                    


Seharusnya, mendengar komentar yang dilontarkan Kay tempo hari, membuatku waspada. Tapi, karena Disa adalah salah satu sahabatku yang tersisa, terbaik, dane terdekat, makanya aku mengusir jauh- jauh pemikiran itu.

Aku bukan orang yang nggak tahu diri banget gitu. Keberadaan seorang teman bagiku begitu penting. Setelah Kiana punya kesibukan lain dengan dunia barunya, sementara Firman juga sudah berubah, membuatku jadi lebih menghargai Disa.

Dia nggak mungkin mau mengkhianatiku kan? Aku yakin kok, Disa itu orangnya setiakawan. Nggak munafik. Nggak makan teman.

Tapi untuk memastikan itu semua, aku memang harus ngobrolin ini sama dia. Tapi harus nunggu waktu yang tepat dulu. Kalau langsung tembak gitu kan kesannya aku kayak nuduh dia.

Padahal, Alvin juga belum menunjukkan tanda- tanda kalau doi naksir Disa atau aku. Kami saja jarang ketemu. Disa juga kadang diminta Mbak Dara ke Bogor lah, ke Depok lah, ke Tangerang lah, buat ngecek- ngecek venue yang mau dipakai buat acara gitu.

Mana mungkin sih dia punya kesempatan untuk ketemuan sama Alvin yang dari pagi sampai sore harus ngajar.

Lha wong kemarin saja aku lihat sendiri, dia baru sampai Geprek Jotos itu jam berapa. Jam delapan lewat. Katanya harus bantuin bikin panggung di sekolah. Buat acara pensi hari Jumat.

Jadi, menurutku, memang nggak perlu sih, menjatuhkan kecurigaan ke Disa dan Alvin. Itu mungkin cuma akal- akalan Kay saja. Kay kan memang suka iseng banget tuh anaknya.

***

Siangnya, aku harus pulang, karena memang sekarang harus menangani pernikahan Dessy dengan Erwan. Anehnya kok aku nggak merasa sakit hati atau cemburu sama sekali.

"Hai, Bulik." Aku menyala Bulik Mae yang kebetulan ada di rumah. Adik ibu itu bekerja sebagai tenaga administrasi di puskesmas. "Kok di rumah?"

"Iya, Fen. Ini pulang lebih awal. Masuk dulu."

Sejak kecil, aku akrab dengan semua ruangan di rumah ini. Ruang tamu, ruang tengah tempat nonton televisi, tempat salat, ruang makan, dapur, kamar mandi dan area belakang untuk Paklik meletakkan sangkar burungnya yang berderet, karena hobi Paklik sama dengan hobi bapakku sendiri.

Di rumah ini ada tiga kamar. Kamar utama di lantai bawah, dua lainnya di lantai atas.

"Dessy datang ke kantorku sama Erwan, Bulik. " Mulaiku agak ragu. Aku tahu, Bulik merasa nggak enak pada keluargaku dan keluarga besar yang tahu, bahwa seharusnya Erwan adalah calon suamiku. Tapi nyatanya< Dessy seperti santai - santai saja menenteng Erwan ke sana- ke Mari, juga dalam acara rutin keluarga. "Dia minta bantuan ke aku buat ngurus nikahannya."

"Maafkan Bulik, ya, Fen. Tadinya Bulik sudah bilang supaya adikmu itu nggak usah pakai jasa wedding organizer, atau jasa kamu segala. Toh pernikahannya juga nggak besar- besar amat. Undangannya juga sedikit kok. Tapi tiba- tiba, di tengah jalan Dessy mintanya begitu. Tadinya malah mau minta dibatalin aja. Kami akhirnya bujuk Dessy supaya waras sedikit. Dia akhirnya mau melanjutkan pernikahan. Asal pakai jasa WO. Spesifiknya, dia minta kamu yang nanganin pernikahan dia. "

"Aku ngerti kok, Bulik." Ujarku. Hanya bisa mendesah prihatin. Dessy memang sejak dahulu suka membuat ulah yang bikin orang- orang di sekelilungnya kalang kabut.

"Kita mulai dari undangannya. Kira- kira, berapa orang?"

"Undangannya kisaran untuk 800 orang saja. Kalau ini mungkin tetap sama dengan rencana awal. Mungkin konsep dan warna undangannya kamu yang harus mumet, Fen. " Kami tertawa lepas.

Syukurlah, keadaan keluarga kami sekarang baik- baik saja. Dalam artian, sudah nggak ada yang nggak enak lagi. "Eh, Bulik bikinin minum dulu ya. Mau es sirop?"

"Boleh Bulik,"

****

"Buat undangan, karena dua yang lainnya lagi padet, kamu ke Firman saja, Fen."

"Di mana itu Mbak?" aku sudah ketar- ketir saja. Pasalnya, belakangan ini, hubunganku dengan Firman nggak terlalu baik.

Lebih tepatnya karena aku belum minta maaf padanya. "Percetakannya ada di dekat kampus itu kan?"

"Iya kali." Aku menjawab lesu.

"Kamu kenapa? Lagi sakit?"

"Enggak, Mbak. Cuma belum makan siang aja. "

"Hah, udah jam berapa ini?" Mbak Dara berseru panik. "Hampir jam empat loh, Fen. Jangan suka telat makan begitu. Diet nggak begitu juga caranya. Apalagi mobilitas kamu tinggi begitu. Kita lagi peak season. Kamu salah satu tenaga andal di Stardust. " Omel Mbak Dara yang tampak khawatir padaku.

Mbak Dara sebenarnya bukan tipe atasan yang cerewet bukan main, atau yang gimana gitu. Dia orangnya perhatian. Kalau ada stafnya yang bikin kesalahan juga nggak langsung main nyalahin gitu aja. Pasti diajak ngobrol terlebih dahulu untuk cari tahu permasalahannya.

Dulu, awal- awal aku masuk ke Stardust juga sering banget bikin kesalahan. Tapi beliau nggak pernah jutekin aku.

****

Jadinya aku mampir ke warung Geprek Jotos, sebelum meluncur ke tempat Firman. Agak tumben tempat itu masih ramai banget padahal jam makan siang juga sudah lewat.

Aku duduk di meja paling pojok, setelah memesan pada seorang gadis berjilbab yang berdiri di konter pemesanan. Aku belum pernah melihat gadis itu di tempat ini. Mungkin baru.

Iwan mengantarkan pesananku. Kemudian, dengan seenak jidat, menarik kursi dan duduk di hadapanku tanpa permisi. "Jam segini kok elo baru ke luar makan sih, Mbak?" dahinya mengernyit. "Atau ini makan siang gelombang ke dua?"

"Eh, minuman gue mana?" aku nggak merespon perkatannya. Dia berdecak dan berdiri dengan muka butek.

Biarin saja lah. Aku lagi malas berbasa- basi sama dia. Tapi baru sebentar kemudian, dia sudah balik lagi ke mejaku dengan membawa segelas jus lemon pesananku.

Diletakkannya gelas besar itu di hadapanku. Dia sendiri mengamatiku lagi mengopek- ngopek ayam krispi, lalu memakannya tanpa minat.

Aku yang merasa pusing jadi jengkel sendiri. "Eh, lo ngapain sih? Pake acara nungguin orang makan segala!" sungutku galak.

Aku memang lagi mode senggol back banget ini. Lagi bad mood. Entah kenapa. Perasaan kalau mau nyalahin PMS juga udah telat banget ini. Soalnya udah lewat periodenya juga.

"Eh, galak banget!" dia nyeplos. Kemudian balik duduk lagi ke kursi yang beberapa menit ini dia pegangi. "Tante gue Mbak, baru pulang dari Malaysia. Udah 37 tahun jadi pekerja migran, dia kasih oleh- oleh coklat. Enak deh. Mbak Fenita mau?"

Aku melepaskan sepotong ayam yang sejak tadi kukopek- kopek sedikit demi sedikit. Kemudian menatap Iwan dengan bengong. Merasa heran, dia katanya nggak naksir aku kok, tapi jadi baik begini ya?

"Gue curiga deh." Alisku mengerut di tengah- tengah glabella. "Lo kok jadi baek banget ama gue?" kudekatkan kepalaku ke arahnya. "Lo masukin obat mencret ke dalamnya ya?"

"Ih, Mbak Fenita!" ia berseru dengan wajah tersinggung. "Lagi makan ngomongnya kok gitu banget sih? Jorok tahu nggak!"

Dia langsung balik kanan dan meninggalkanku begitu saja. Aku? Tertawa puas dalam hati. Karena sudah berhasil bikin cowok itu keki.

Habisnya iseng banget nawarin cokelat. Aku kan lagi program diet. Ehm... maksudnya minggu depan sih. Kalau minggu ini soalnya sudah gagal.

Kemarin dulu, pulang dari kantor, aku nggak tahan buat nggak jajan martabak dan  gultik karena buat bekal nonton drakor. Juga karena lagi stress akibat batalnya pernikahan Emma dan Tion. Kemarin malam, aku  mencuil kue bolu bikinan ibu dari kulkas malam- malam.

Heeeemmmmh.

Diet itu cuma agenda dan wacana. Sisanya yah... begitulah.

****

Fat And Fabulous Where stories live. Discover now