Sembilan Belas

402 47 6
                                    

Pada akhirnya, aku tetap harus sampai di sini juga. Di sebuah ruko tiga lantai dekat kampus yang berada di Jakarta Barat.

Percetakan itu letaknya sekitar 700 meter dari kampus itu sendiri. Selain percetakan, tempat itu juga menyediakan jasa fotokopi dan pengetikan. Pegawainya sendiri ada tujuh orang.

"Permisi," hiruk- pikuk di dalam ruko itu langsung berhenti, begitu aku beruluk salam. Semuanya menatapku dengan raut wajah penasaran bercampur tawa. Untuk kali ini, aku cuek saja. Aku tahu, mereka menertawakan apa.

"Firmannya ada nggak?"

"Firman?" seseorang menyahut. "Maksudnya bos Firman?"

"Iya."

Sore ini, mendadak napasku jadi ngos- ngosan. Aku belum timbang lagi berapa bobotku. Yang jelas, melangkah rasanya kelewat berat. Kayak semacam harus membawa beban berupa sekarung sampah di badan. Belum lagi, sepatu datar yang kukenakan ini rasanya kayak hampir jebol aja gitu. Barangkali memang sudah nggak tahan menerima gempuran berat badanku yang semakin lama semakin masif.

"Eh, Kodir. Panggilin bos Firman tuh! Bilang ada yang nyariin!"

Yang bernama Kodir itu melemparkan tatapan ke arahku dengan malas- malasan. "Kalo emang dia temen, bos, kenapa nggak telepon langsung aja!" tatapannya itu loh, sinis bangeeeettttt! Aku jadi kepingin melindas mulutnya pakai sepatuku yang bekas kena mencret kuda deh!

Ini pegawainya si Firman pada nggak punya akhlak ya?

"Nggak ada!" sambut yang lain dengan suara sengak. "Firmannya nggak ada! Elu salah alamat kali. Laen kali aja elu balik di mari. Ini kite lagi pade sibuk. Elu," dia mengarahkan telunjuknya ke padaku, "mendingan pergi sekarang juga deh,"

Dasar nggak sopan.

Tapi aku nggak boleh baper. Biar badan gendut, muka berminyak macam wajan punya kang martabak telor, bau badan aduhai, aku mesti tetap punya power di hadapan orang- orang yang nggak punya adat ini.

"Eh, Pak. Saya ke sini tuh bukan mau minta makan gratis ya! Saya ke sini, mau nyetak undangan! Jumlahnya 800 buah!" bentakku balik.

Kurogoh tas dan mengeluarkan amplop berisi DP 70 % yang sudah kutentukan, kuacungkan benda itu seperti memancing sekawanan monyet urakan dengan setandan pisang.

"Tapi kalo cara kalian memperlakukan klien kayak begini, saya nggak sudi tuh nyetak undangan ke sini! Offset masih banyak kok! Bukan cuma di sini doang! Nggak usah sombong! Bhay!" Aku melotot. Nggak yakin seperti apa penampakan wajahku saat itu.

Kemudian balik kanan dan melenggang kembali ke mobil, bertepatan dengan teriakan seseorang yang menyerukan namaku.

Tapi kupingku sudah terlanjur panas. Mataku juga rasanya sudah nyeri, menahan keinginan air mataku untuk jebol dan meleleh di tempat umum begini.

Aku nggak tahu, apa salahnya jadi gendut. Toh aku nggak minta makan sama mereka. Aku cari duit sendiri. Nggak ngerepotin juga. Ini orang- orang Firman memang nggak punya attitude. Aku benci mereka.

Tahu- tahu, badanku diputar mendadak oleh sebuah tangan. Aku sudah nggak tahan. Langsung kutubruk dada Firman. Dia menangkapku.

"Fen, elo kenapa?"

Tubuhku bergetar hebat karena tangis. Aku terisak di dada Firman. Seperti anak SD yang habis dipalak tukang gencet di sekolah.

****

"Elo udah makan belom? Ada toko kue, warung nasi padang, masakan sunda, kafe yang jual makanan western. Mau yang mana. Biar dibeliin sama anak- anak di bawah tuh. "

Fat And Fabulous Where stories live. Discover now