Satu

832 95 3
                                    

Patah hati seharusnya bukan barang baru dalam kancah asmara. Tapi merasakannya, tetap saja menyakitkan. Patah hati saja mungkin masih bisa diterima, tapi patah hati karena dikhianati pacar yang diam- diam naksir sepupumu yang lebih cantik dan langsing, bukankah itu neraka dunia?

Aku masih duduk di kedai ayam geprek favoritku. Menghabiskan porsi kedua geprek jumbo Jotos yang berlogo kepalan tangan itu. Iwan pegawai yang sudah hafal denganku memandangi dengan penuh rasa iba. Yah, siapa sih yang nggak iba? Tubuhku membengkak persis seperti adonan roti yang dikasih ragi. Benar- benar mengembang secara harafiah.

Timbangan tidak pernah ke kiri semenjak Erwan memberiku kabar bahwa selama ini dia naksir sepupuku yang bernama Dessy.

Yah, Dessy memang lebih cantik, lebih ramping, pekerjaannya jauh lebih jelas. CSO sebuah bank swasta, tentu saja ibu Erwan bakalan lebih milih dia kan ketimbang aku yang kerjaannya mirip pengangguran begini.

Meskipun aku sudah naik pangkat. Dari asisten wedding planner jadi tim leader wedding organizer. Kemudian sekarang jadi wedding planner. Dan sebagai perencana pesta pernikahan, aku cukup laris.

Dan menggelikannya hal ini bukan karena hasil karyaku yang fenomenal ataupun fantastis, tapi karena kalau aku yang menangani pesta seorang perempuan, mereka merasa aman. Fakta bahwa calon suami mereka tidak bakalan jatuh cinta pada perencana pesta yang segembrot kasur air cukup melegakan bagi calon pengantin perempuan.

Terlebih yang gampang curigaan.

Seperti yang sudah banyak terjadi, banyak kasus perencana pesta yang kabur dengan calon mempelai  pria. Dan pernikahan yang sudah didepan mata jadi gagal menyebabkan drama dan tragedi yang mengerikan.

Beberapa kali Stardust diteror oleh mantan calon mempelai wanita yang sakit hati. Beruntungnya aku tidak harus berurusan dengan drama- drama seperti itu.

Terimakasih pada berat badan yang terus membengkak ini.

Aku tertunduk lesu menatap piring- piringku yang berserakan di atas meja. Sebelum ayam geprek disajikan, aku terlebih dahulu pesan ayam fillet krispi dengan saus barbeque. Lalu dua gelas lemon soda juga nggak mengurangi beban yang menyesakkan dada siang ini.

"Mau nambah lagi, Mbak?" Iwan tahu- tahu sudah berdiri di samping mejaku. Dengan takjub mengamati pencapaianku siang ini.

"Lagi happy, ya?" dia menyeringai.

"Nggak usah ngeledek deh! Lagi kesel tahu!"

"Kalau gitu tiap hari aja keselnya. Bosku pasti cepet kaya kalo kayak gini... dan gue nggak bakalan kena semprot lagi!" Iwan menaikkan alisnya.

Aku menundukkan kepala. Rasanya daguku sudah berlipat tiga. Dan susah berdiri. Kukeluarkan dompet untuk membayar. "Gue bayar di sini aja ya? Susah banget nih mau berdiri," Iwan malah terkekeh.

"Sudah tahu bakalan susah berdiri, tetep aja dikebut makannya!"

"Oh, gitu? Oke! Besok gue ogah deh makan di sini!"

"Huuu! Ancaman lo nggak mutu tahu, nggak!" Iwan memonyongkan bibirnya yang sudah tebal akibat kebanyakan terpapar zat nikotin itu.

Aku berusaha bangkit dari kursi kayu yang kududuki selama nyaris dua jam ini. Inilah penderitaan kedua jadi orang gendut. Susah bangun kalau kelamaan duduk.

Kutumpukan kedua tangan ke atas meja. Iwan mengernyit melihat perjuanganku yang berusaha bangkit dari kursi yang mulai mengeluarkan derit protes itu. Bukannya iba, cowok berambut keriwil itu malah cekikikan.

Aku melotot garang!

Kurang ajar nih cowok! Gue kempesin juga dia entar! Emang enak apa jadi tontonan orang banyak gini!

Fat And Fabulous Where stories live. Discover now