37.5 Pada Waktu yang Sama

1.7K 29 27
                                    

PoV Jimmy

Pagiku, cerahku.
Matahari bersinar.
Kugendong tas merahku.
Di pundak.

Eh, bentar. Salah deng.

Tas yang aku bawa sekarang warnanya hitam. Hehe.

"Jimmy, tungguin!" Panggil seseorang di belakang.

Aku menengok ke belakang untuk mencarinya, kemudian berlari ke dalam gedung sekolah untuk meninggalkannya.

"Jimmyy!!"

Aku jahil untuk meninggalkan dia di belakang. Tapi sewaktu sudah menacapai pintu masuk, aku memperlambat langkahku supaya dia bisa menyusul. *Pluk*. Kedua tangannya berhasil meraih pundakku dari belakang. Dia bernafas dengan tergesa-gesa padahal baru berlari tidak sampai 20 meter.

"Muuu, Jimmy jahat banget!" Dia merengut imut di depan wajahku. "Awas ya kalau kamu ninggalin aku lagi. Nanti aku gak akan... Mmpph!"

Tanganku bertindak cepat untuk menutup mulutnya. Jika dia keceplosan di sini, bisa hancur kehidupan sekolahku. Karena mendadak, dia sempat mengerang karena terkejut kemudian melepaskan tanganku darinya.

"Ma-maaf. Gak sakit kan?" Aku jadi khawatir dengan apa yang aku lakukan barusan. Meskipun aku sudah berusaha selembut mungkin, tapi tetap saja aku yang salah. "Habisnya kamu kalau keceplosan nanti aku yang gawat."

Setelah melepaskan tanganku, dia memasang wajah datar dan menatapku dengan tajam. 

"Awas kamu di rumah. Jimmy harus nurutin satu permintaan aku dulu, baru aku maafin."

"I-iya. Maaf..."

Haduuh. Lagi-lagi aku berbuat salah, yang berujung pada permintaan yang harus aku turuti. Berdasarkan pengalaman yang pernah aku lalui, dia selalu membuatku malu dengan setiap permintaannya. 

"Hihi. Kalau begitu, ayo kita ke kelas." Dia meraih tanganku dan membawaku bersamanya. Larinya terlalu mendadak untuk aku yang masih terdiam di tempat. Akibatnya aku sedikit terseret oleh tangannya yang lembut.

"Ah! Pelan-pelan, Sel."

Setibanya di kelas, aku dan Seli mengobrol sebentar bersama teman-teman yang lain. Karena bel masuk sekolah masih ada beberapa menit lagi, kami gunakan waktu itu untuk menyegarkan diri sebelum pelajaran dimulai. 

Seli, terlalu menjadi pusat perhatian karena prestasinya yang menakjubkan. Peringkatnya gak pernah naik (Maksudnya udah mentok di 1), sifatnya yang baik hati banget, bahkan sangat cantik ketika menggunakan seragam yang rapih. Bahkan kelas lain atau kakak kelas sampai mengenal Seli sejauh itu. Aku agak khawatir ada cowok senior yang berani macam-macam dengannya, karena aku mulai melihat gerak-gerik seseorang yang selali mengikuti Seli pas jam istirahat.

"Seli waktu homeschooling belajarnya apa aja sih?" Tanya salah satu teman sekelas. "Apa sama aja kayak kita di sekolah?"

Sebelum naik ke SMP ketika SD Seli itu tidak bersekolah umum seperti aku dan Putri. Dia homeschooling di rumahnya karena agak penakut dengan orang baru. Namun seiring berjalannya waktu, Seli akhirnya bisa membuka diri dan lebih bersosialisasi.

"Pelajarannya sama aja kok. Cuman aku bisa nentuin mata pelajaran apa yang aku suka, sama mata pelajaran apa yang aku gak suka." Seli menjawab dengan ceria.

"Hii, enak banget..." Teman-teman lain di sekitar menyahut.

"Jimmy sama Seli tinggal satu rumah kan? Emangnya kalian itu adik kakak atau gimana sih?" Pertanyaan ini sebenarnya sudah sangat sering ditanyakan, meskipun dengan orang yang berbeda.

Aku dan Seli saling tatap, kemudian Seli menyuruhku untuk menjawabnya.

"Kami berdua itu saudara sepupu, dan Seli sedikit lebih tua dariku." Aku memberi mereka penjelasan yang sebenarnya sudah template. "Orang tuaku bekerja di luar negeri. Jadinya aku dititipkan kepada mamahnya Seli."

Alia dan PopokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang