Istri Kedua -4

10 0 0
                                    

Sebulan kemudian
Pukul 02.50 pagi, Zayyan terbangun karena suara ringtone handphonenya berbunyi "Mang Mansur" tulisan yang tertera di layar handphonenya.
"Siapa bang?" Tanya Widya sambil mengucek matanya, Zayyan memperlihatkan handphonenya. "Ada apa ya jam segini telepon, angkat aja bang"
"Assalamualaikum" ucap Zayyan, terdengar suara disana agak ricuh, suara Mang Mansur pun agak serak sesegukan. Perasaan Zayyan mulai tidak enak.
"Abah Husein, Zayyan"
"Abah kenapa?"
"Tadi jam 1 seperti biasa amang mau bangunin Abah tapi Abah udah ngga bernafas. Amang bawa Abah ke rumah sakit tapi, dokter bilang Abah udah ngga bisa diselamatkan. Abah meninggal" ucap Amang Mansur dengan suara bergetar. "Tolong sampaikan sama Nadin, bawa Nadin kerumah Abah, tadi Amang udah suruh santri bantu siap-siap. Itu aja dulu, tolong ya. Assalamualaikum" 
Jantung Zayyan berdetak kencang, matanya dibanjiri oleh air yang mulai membludak ingin keluar.
"Abah meninggal?" Tanya Widya, dijawab anggukan oleh Zayyan. "Biar Ade yang sampaikan ke Nadin" Widya tahu kabar ini juga melukai hati Zayyan, Zayyan adalah salah satu anak didik kesayangan Abah karena itu Abah menitipkan dan merelakan anaknya menjadi istri kedua. Widya menggunakan jilbabnya dan segera ke kamar Nadin.
Didepan pintu kamar Nadin, Widya dan Zayyan mendengar suara Nadin yang sedang tilawah. Sesaat Widya dan Zayyan terpaku dengan bacaan Nadin, 
"Nadin" panggil Widya sambil mengetuk pintu, setelah dia menguatkan hatinya untuk menyampaikan kabar Abah.
Sesaat kemudian Nadin membuka pintu kamar setelah Nadin memakaikan cadar diwajahnya dan masih menggunakan mukena putih bermotif bunga berwarna pink. Nadin terheran-heran dengan wajah Widya dan Zayyan yang terpancar aura kesedihan. "Kenapa teh?" 
Widya menggenggam tangan Nadin "Nad, tadi Amang telepon mau kabarin tentang....."
"Abah?? Kenapa??". Tentu saja jantung Nadin berdegup kencang, jam segini dapat kabar dari Amang tentu saja bukan kabar baik. 
"Abah meninggal" lanjut Zayyan, Nadin diam terpaku sesaat dan tidak ada ekspresi diparasnya.
"Kami tunggu di mobil ya" kata Widya, mereka bertiga kembali masuk kamar dan bersiap. 
"Nadin pasti merasa hancur, bang. Hanya kita sekarang keluarganya" ujar Widya didalam mobil sambil menunggu Nadin.
Selama perjalanan kerumah Abah tidak ada percakapan antara Meraka, senyap. Widya duduk disamping Zayyan di depan sedangkan Nadin duduk dibelakang. Nadin sendiri hanya bisa menangis dalam diam, hanya air mata yang terus mengalir tanpa henti membasahi cadar hitamnya. Sesekali Zayyan memperhatikan Nadin lewat kaca spion.

Apa mungkin bang Zayyan sudah mulai menyukai atau mencintai Nadin, terlihat dari tatapan bang Zayyan pada Nadin. Pikir Widya.

Sesaat sampai rumah Abah, tenda yang ditutup terpal hijau sudah mulai dipasang begitu juga bendera kuning tanda berduka sudah terpasang. Nadin berlari sesaat membuka pintu mobil. Dia peluk tubuh kaku Abah yang sudah di bungkus kain kafan dan ditutupi oleh kain coklat panjang, tak ada isak tangis disana, hanya butiran air mata terus mengalir. Nadin ingat percakapan Abah seminggu yang lalu, saat Nadin datang menjenguk Abah untuk mengingatkan jadwal operasi Abah.

"Kamu masih ke psikiater, nak?" Tanya Abah mendatangi Nadin yang sedang memasak untuk Abah.
"Masih bah"
"Kapan jadwalnya?"
"Minggu depan, bah. Sekalian antar Abah ke rumah sakit"
"Zayyan udah tahu tentang kondisi mental mu?" 
"Udah, bah. Nadin udah cerita" kata Nadin berbohong, dia tidak ingin Abah sedih dan masih memikirkan tentang Nadin. Nadin hanya ingin Abah fokus pada kesembuhannya. 
"Alhamdulillah, jika Zayyan tidak masalah. Abah senang, itu artinya jika Abah meninggal pun Abah tidak akan ada beban untuk meninggalkanmu sendiri. Kapan kamu dan Zayyan akan datang bersama?
"Nadin dan Mas Zayyan sama-sama sibuk, bah, jadi jarang punya waktu bersama"
"Nanti antar Abah ke rumah sakit sama-sama Zayyan ya, Abah ingin kalian yang antarkan Abah"
"Insa Allah, bah. Nadin musti tanya dulu Mas Zayyan sibuk atau ngga"
"Nadin, Abah mau minta sesuatu"
"Apa, bah?"
"Jika umur Abah habis, tidak usah diadakan selamatan atau baca doa bersama. Cukup Nadin saja yang doakan Abah di tiap shalat Nadin"
"Abah, jangan buat wasiat aneh-aneh" ujar Nadin menyelesaikan urusan dapurnya lalu duduk di samping Abah. 
"Ngga aneh, Nadin. Abah hanya ingin itu saja darimu dan juga jangan lupa untuk kebahagiaan mu" ujar Abah sambil mengelus kepala Nadin.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Saya akan tinggal di rumah Abah selama beberapa hari" ujar Nadin pada Widya, setelah selesai proses pemakaman Abah.
"Baiklah, biar saya bilang ke Abang. Nanti malam mau diadakan doa bersama, biar saya bantu"
"Abah pernah pesan untuk tidak melakukannya" jawab Amang Mansur yang datang bersama dengan Zayyan.
"Kenapa?" Tanya Zayyan
"Abah hanya ingin didoakan setiap kita shalat dan tidak perlu diadakan selamatan" sambung Nadin. "Saya masuk kamar dulu. Kalau Mas Zayyan dan teh Widya mau pulang silakan" kata Nadin berlalu meninggalkan mereka.
"Para pelayat juga udah pulang, nak. Silakan kalau mau pulang biar saya dan istri saya yang temenin Nadin" ucap mang Mansur
"Saya yang akan temenin Nadin disini, mang" ujar Zayyan lalu melirik Widya. "De, kamu ngga apa-apa kan dirumah, biar Abang disini temenin Nadin atau Ade mau ikut nginap disini juga"
"Ngga usah, bang. Ade besok musti ke kota A, kan ada dakwah. Ngga mungkin Ade batalin" Widya berjalan menuju ke kamar Nadin ingin pamitan. Mungkin ini waktunya aku membiarkan Abang Zayyan dan Nadin menghabiskan waktu bersama. 

Widya mengetuk pintu kamar Nadin tanpa ada jawaban, Widya membuka pintu kamar dilihatnya gadis itu memiringkan tubuhnya, wajahnya masih tertutup cadar sedangkan matanya terpejam walau ada sisa butiran air mata yang masih tersisa disudut matanya.

 "Saya mau pamit" tak ada jawaban dari Nadin, Widya masih mendengar suara terisak walau matanya tertutup. Widya membalikkan tubuhnya dan ingin keluar dari kamar itu.
"Makasih ya, teh" ujar Nadin menghentikan langkah kaki Widya
"Untuk apa?"  Tanya Widya heran, ini pertama kalinya Nadin berbicara terlebih dahulu. Biasanya Widya atau Zayyan yang mengajak Nadin berbicara, itupun dijawab hanya seadanya, tidak ada pertanyaan hanya pernyataan.
"Udah ijinin Nadin jadi istri kedua teteh" ujar Nadin sambil duduk. "Dan maafin Nadin kalau Nadin menyakiti hati teteh" Widya tertegun dengan pernyataan maaf Nadin "Nadin mau istirahat ya, teh. Maaf" ujarnya lagi sebelum Widya berbicara.
Widya keluar dari kamar Nadin dan masih berdiri di depan pintu Nadin, perasaan tak enak apa ini, Widya menganggap seperti ucapan perpisahan dari Nadin.
"Gimana, de? Nadin mau bicara? 
"Iya, bang. Ade pulang dulu ya, biar Ade siapkan pakaian Abang untuk menginap disini nanti diantar sama Pak Kus"
"Ngga apa-apa, de?" Tanya Zayyan khawatir dengan perasaan Widya, Widya tersenyum lalu pamit untuk pulang
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Istri KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang