O5. Emang Manusia Berguna Itu Kayak Apa?

140 14 0
                                    

Happy reading ...
Tandai jika menemukan typo 🙌



"Astaghfirullah. Panas pol loh, Gar. Mbok yo istirahat sana. Kenapa jam segini belum tidur?"

Segara berjengit saat tiba-tiba saja tangan gempal Mbok Atik meraih jemarinya yang baru akan menuangkan detergen cair ke pakaian yang sudah terendam di mesin cuci. Ia segera menoleh dan pemandangan wajah panik wanita setengah abad itu menyambut.

Namun seperti biasanya, mau sepanik apapun Mbok Atik terhadapnya, Segara hampir selalu membalas dengan kekehan kecil, kendati kali ini lengannya langsung digeplak. Mungkin karena wanita yang sudah Segara anggap sebagai keluarga sendiri itu kesal.

Segara meringis, mengusap lengannya, tapi masih terus melanjutkan aktivitas menuangkan detergen yang tadi sempat tertunda sambil melayangkan jawaban, "Ya kalau dingin mati dong Segara, Mbok! Ada-ada aja!"

Tak terima akan jawaban Segara, Mbok Atik geleng-geleng kepala, lalu mengulurkan tangan untuk menjewer telinga pemuda di sebelahnya, "Jangan ngeyel, kamu itu demam, sana istirahat. Ini lagi kenapa tengah malam malah nyuci? Biar Mbok lanjutin aja!"

Segara menggeleng. "Jangan! Ini punyanya Sakti, Mbok. Kalau ketahuan Mbok Atik yang nyuci, aku takutnya Mbok malah kenapa-napa, tau sendiri dia tuh gimana. Bisa-bisa Mbok terancam!"

Wanita dengan balutan daster batik coklat tua itu menghela napas panjang, melirik Segara yang mulai menutup mesin cuci, seolah tak merasa terganggu sama sekali. Padahal Mbok Atik tidak merasa berbohong, ketika ia menyentuh punggung tangan Segara tadi, hawa panas yang merambat pada telapak tangannya bahkan sampai membuatnya tiba-tiba bisa punya kemampuan khusus yang dapat menerka berapa kiranya suhu butuh Segara saat ini. Namun, ia mencoba mengerti kalau pemuda di sampingnya kini tengah mencoba melindunginya, dan karena sebenarnya mereka adalah dua orang yang saling melindungi di bawah atap rumah dua lantai yang menaungi, Mbok Atik mengalah. "Yowes. Mbok ambilkan plester penurun panas aja ya? Dinggo, dan jangan nolak."

Saat itu pula Segara berbalik, menatap punggung wanita yang sudah ia anggap neneknya itu dalam-dalam, pengennya sih menolak karena plester penurun panas itu 'kan untuk anak kecil. Tapi karena tak enak, Segara hanya bisa pasrah-pasrah saja, toh tidak akan ada yang melihatnya.

Sambil menempelkan plester penurun panas pada kening Segara, Mbok Atik terus mengomel, sedangkan Segara sendiri sibuk meratapi kardus mesin cuci baru yang tadi sempat ia lihat ketika pulang. Kardus itu berada di kamarnya. Dan Segara sama sekali tidak bisa protes karena kamarnya yang memang sebenarnya punya fungsi lain sebagai gudang. Hampir semua orang di rumah, kecuali Mbok Atik tentunya suka menaruh barang-barang bekas mereka di sana. Meski ketika Diko pulang, Mayang selalu menyuruh Segara pindah ke kamar yang Diko siapkan untuk Segara sejak kedatangannya di rumah ini. Mayang memang begitu, tingkahnya bak ibu tiri di sinetron yang super kejam.

"Habis ini beneran tidur, ya? Oh iya, Segara udah makan belum?"

Segara menoleh, inginnya mengangguk, tapi daripada perutnya yang mulai melilit dan nanti malah memberontak hingga berakhir memalukan karena ketahuan bohong, akhirnya ia menggeleng. "Udah sebenarnya, Mbok. Tadi di resto dapet makan siang, cuma kayaknya laper lagi," Segara meringis, ia harap Mbok Atik tidak mengendus kebohongannya.

"Ya itu 'kan siang. Mbok ambilin mau ya? Masih ada nasi di dapur, masih bagus karena tadi sempet Mbok nyalain lagi rice cooker-nya. Lauknya pakai telur potongannya Mbok nggak apa-apa? Kalau goreng yang baru takutnya Bu Mayang bangun-"

Menggeleng pelan, Segara meraih jemari Mbok Atik. "Nanti Segara ambil sendiri, Mbok, kebiasaan deh. Ya enggak apa-apa makan sama telur, telur 'kan enak. Aku tuh suka banget sama telur dadar!" Apalagi yang buatannya ibu.

The Tale of Segara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang