13. Sedikit Keluh Malam Ini

224 26 5
                                    

Happy reading ...
Tandai jika menemukan typo 🙌



"Gar. Bangun. Pindah ke kamar gue ayo."

"Aca, gendong aja, gimana, sih, kamu."

Aksa menggaruk pelipisnya yang tak gatal, menatap sang ibu yang tampak mengangguk, meyakinkannya.

"Udah, Ca. Cepet, Gara 'kan enteng," celetuk Fuchsia ikut-ikutan.

"Bantu dong, Ma."

Aksa berjongkok di bawah sofa, dimana Segara tertidur begitu lelapnya. Sementara Sofi dengan dibantu Fuchsia dengan hati-hati bekerjasama untuk memindahkan tubuh Segara yang tidak terlalu besar itu ke punggung Aksa.

Kendati ketika dua wanita berbeda usia itu menyentuh bahu Segara, sosok bermanik sejernih telaga itu mulai menggeliat dan mengerjapkan netranya.

"Ibu ..."

Satu hal yang mereka mengerti sekarang. Segara tengah melindur. Entah mimpi seperti apa yang tengah dia rajut dalam lelapnya. Tapi barangkali, itu adalah mimpi yang tidak terlalu buruk untuk dibayangkan menjadi nyata. Apalagi ketika Segara menggumamkan panggilan untuk Shinta dengan nada penuh rindu begitu.

"Ibu ... Segara kangen," gumamnya lagi.

Sofi, wanita yang sudah berganti pakaian dengan piyama tidur itu menutup mulutnya, sedang sebelah tangannya lagi mulai merambat untuk mengusap lembut pundak hingga berhenti pada dada Segara. "Segara, ada Mama, Nak. Mama di sini," desisnya halus.

Segara melenguh pelan dengan kening yang mengkerut, sebelum akhirnya netra jernih yang sejak tadi mengerjap itu perlahan terbuka. Tadinya, Sofi berniat menenangkan dan membuat Segara kembali pada lorong mimpinya, tapi sepertinya sudah terlambat. Apalagi ketika mendadak Segara bangkit dengan netra melebar, juga kepala yang bergerak-gerak mencari sesuatu.

"Astaga! Udah jam berapa ini!" seru Segara, tampak kaget.

"Nginep aja, Gar. Seragam buat besok masih sama lagian. Tinggal pagi-pagi sebelum berangkat besok kita tinggal mampir rumah lo buat tukar jadwal mapel aja."

"Nah, Aca bener, Gara. Tidur lagi gih, pindah ke kamarnya Aca. Udah malem ini. Jam sepuluh lebih," sahut Sofi. Wanita itu memberikan usapan pada pundak Segara. Sementara Fuchsia, gadis berpiyama serupa dengan milik sang ibu itu mulai tak mengalihkan tatapannya dari televisi yang menampilkan sinetron remaja yang baru saja kembali setelah sempat terjeda oleh iklan beberapa menit lalu.

"Ma, aku pulang aja, deh. Pasti Tante Mayang cariin aku."

Mendengar kalimat itu, Aksa diam-diam mendecih tak suka. Bahkan sekalipun Segara selalu membangun citra kalau Mayang adalah wanita lemah lembut yang merawat Segara dengan baik, Aksa langsung tahu bagaimana sifat asli wanita beranak tiga itu ketika ia berkunjung dan seulas senyum tipis pun tidak Mayang layangkan padanya.

Tapi akhirnya, Aksa memilih diam saja. Karena ia tahu, Segara hanya sedang berusaha agar membuat Sofi tidak merasakan curiga.

"Mama telpon tantemu kalo gitu? Hapal nomornya 'kan? Sini."

Spontan saja, Segara mendelik kecil, lalu menggeleng. Isi kepalanya terputar cepat memikirkan beragam alibi. "Jangan, Ma. Sebenernya Tante Mayang nggak tau kalo hari ini aku dapet libur. Dia pasti bakal khawatir banget mikirin apa terjadi sesuatu sama aku di tempat kerja. Aku pulang aja ya?" ujarnya sebaik mungkin tidak menampilkan gelagat yang bisa membuat Sofi menatapnya dengan tatapan memicing.

Sofi menghela napas, menekuk sebelah tangannya di pinggang dengan tatap yang menghunus dalam pada netra Segara, mencoba mencari-cari kebohongan yang mungkin ada di sana. Tapi, meski rasanya berat, akhirnya ia mengangguki pinta Segara, sembari menoleh pada putranya. "Aca, anterin mau? Pake mobil tapi, ya?"

The Tale of Segara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang