O8. Namanya Juga Hidup

127 17 2
                                    

Happy reading ...
Tandai jika menemukan typo 🙌



Segara terbangun saat dada kirinya terasa menghentak, menimbulkan rasa nyeri yang sangat tak nyaman. Ia meringis, mengerjapkan netranya beberapa kali, lalu melirik jam butut yang menggantung di dinding.

Pukul satu pagi. Masih terlalu dini hari sekarang untuk bangun sebenarnya. Namun, apalah daya. Serangan mendadak semacam ini tidak bisa Segara hentikan, ia tak punya kuasa.

Sembari mengurut dadanya dengan pelan, berharap menenangkan detak tak beraturan itu, Segara melirik jendela besar yang ada di kamarnya. Suara jangkrik yang terdengar samar tampak berpadu dengan kelopak mekar bunga matahari yang bergoyang-goyang tertiup angin seperti biasanya. Setidaknya, kesunyian ini cukup membantu menenangkan.

Namun, saat Segara rasa tak ada perubahan apapun, malahan nyeri itu datang seiring dengan rasa mual, ia mengulurkan tangan, meraih botol obat yang ia simpan di dekat bantal.

Tangannya yang sedikit bergetar membuka tutup botol dengan gerakan lamban, mengeluarkan satu butir penyambung hidupnya itu dan tanpa ragu menggigitnya hingga terpecah menjadi dua sebelum menelannya tanpa bantuan air. Segara sudah biasa, meski pahitnya tetap terasa, tapi kali ini rasa nyeri yang sudah tak dapat ia toleransi mengalahkannya.

Setelahnya, ia mencoba mengatur napas sambil mengelus sayang dada kirinya berulang bersama sebuah gumaman, "Segara kuat, nggak apa-apa. Lo jangan rewel mulu dong, nggak kasian sama gue? Jadi anak baik ya?"

Dan anehnya, sukses. Tak butuh waktu lama, beberapa menit setelah kalimatnya rampung, detak dalam dadanya itu kembali pada irama yang lebih tenang, nyeri hilang dan terbitlah seulas senyum pada bibir Segara. "Good job!" ujarnya berbangga.

Segara kembali mencari posisi nyaman, berharap kantuknya kembali datang. Setidaknya ia masih punya waktu dua jam lebih untuk sampai pada waktu dimana ia biasanya bangun untuk membersihkan rumah dan memasak sarapan sebelum bersiap untuk sekolah. Ia harus bijak mengatur waktu.

Beberapa menit setelahnya, obat mulai bereaksi. Nyeri yang menghantam dada berangsur membaik, tapi entah mengapa kali ini kantuk tak segera kembali menggerayanginya. Netra jernihnya malah terbuka lebar, menatap plafon putih yang hampir pudar di atasnya dengan kosong.

Suasana sunyi demikian memang paling hebat dalam mendatangkan segala macam hal untuk dipikirkan. Datang bergerombol menerjang isi kepala Segara.

Ah iya, Segara jadi teringat hutangnya lagi yang entah sudah berapa banyak menumpuk pada Aksa. Untuk ke-berapa kalinya sejak sang ibu tiada, Aksa jadi sering membelikan pasokan obat untuk Segara. Padahal butir-butir kecil nan pahit itu harganya benar-benar tidak murah. Jadi, setelah ini ia harus bekerja lebih keras agar bisa melunasi semua hutang itu, yang meskipun Aksa sendiri pasti tidak akan sudi jika Segara teringin menggantinya nanti.

Helaan napas Segara mengudara panjang. Ia segera memiringkan tubuh, mencoba kembali terlelap. Tapi lagi-lagi yang ia jumpai adalah kegagalan. Jadi, karena terlalu bosan, ia bangkit dengan perlahan mengendap-endapnya menuju kamar mandi yang ada di sebelah dapur, mengambil air wudhu dan kembali ke kamarnya.

Lima rakaat sunah ia kerjakan, lalu tetap bersimpuh di sajadah cokelat mudanya yang dulu turut ia bawa dari rumah tempat tinggalnya dengan Shinta.

Sekarang, sang ibu sedang apa ya? Apa Shinta tengah tersenyum menatap Segara yang melamun di atas sajadahnya? Atau kini ada di samping Segara? Memberikan sebuah pelukan yang begitu Segara inginkan?

"Bu, Segara baik-baik aja. Sekarang Segara udah SMA, bentar lagi mau ujian semester satu. Segara juga masih temenan sama Aksara, kami sekelas. Semoga sih Segara bisa nambah temen lagi. Segara baik-baik aja, Bu. Meskipun tinggal sama Tante Mayang itu nggak gampang, tapi Segara baik-baik aja. Ibu yang tenang ya? Allah pasti kasih tempat terbaik 'kan buat Ibu? Karena Ibu 'kan orang baik. Karena Ibu 'kan bidadari. Ibu bisa punya sayap yang indah, terus terbang ke mimpi Segara ya, Bu? Tapi kalau Ibu mau dateng ke mimpi Segara, jangan bawa tentang hari itu. Segara mau mimpi ketemu Ibu yang indah-indah aja."

The Tale of Segara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang