adek curhat

831 55 3
                                    

Taufan memerhatikan kukis kurma yang masih dipanggang dalam oven sambil tersenyum tak sabar menunggu hasil. Masih ada sisa adonan yang belum dibentuk karena udah agak capek.

Tapi mengingat tujuan awal Taufan membuat kukis karena ini hari terakhir Gempa ujian, dia kembali membentuk adonannya dengan semangat. Dia mau hibur Gempa yang udah berjuang keras ujian sepuluh hari. Dibentuknya adonan itu dengan hati-hati dan sempurna.

Butuh setengah jam agar adonan terbentuk memenuhi dua loyang. Dia sedikit tersentak karena suara pengingat nyaring seperti kerincing dari oven pertanda kukisnya udah matang.

Taufan dengan hati-hati mengambil loyang dalam oven yang panas menggunakan kain. Lalu memasukkan dua loyang tadi yang belum dipanggang ke oven.

Taufan cicip salah satu kukisnya yang masih panas, buat lidahnya perih. Tapi rasanya enak terus harum. Sumpah.

"Hanas hanget huehahdgahsb."

Buru-buru dia mengambil segelas air lalu meneguknya cepat, tapi malah keselek gara-gara itu. Kasihan sampai batuk kayak bapak-bapak.

"oHOK HOK hueh—eh?"

Ditengah-tengah kesengsaraan, dia mendengar suara pagar rumahnya terbuka. Taufan langsung lari terus buka pintunya lebar-lebar, siap menyambut adeknya sambil senyum. Namun, ternyata Gempa malah nggak kelihatan bahagia, kepalanya agak nunduk dengan ekspresi mukanya lebih kusut dari kemarin-kemarin.

"Assalamualaikum Kak," Gempa ngucap salam pakai nada lemes. Bibirnya manyun dan matanya juga gelap. Taufan mengerjap heran melihat adik kesayangannya yang terlihat lesu dari biasanya sebelum membalas salam. "Waalaikumsalam..."

Sebelum masuk, badan Gempa kaku tiba-tiba, dia mencium aroma kukis kurma. Detik selanjutnya dia langsung senyum kecil sambil natap kakaknya, "Kakak bikin kukis kurma????" tanyanya antusias. Gemas.

Taufan jadi ikut senyum, "Iya, kesukaan kamu. Mau coba sekarang? Masih pan—"

Gempa potong ucapannya dengan mata berbinar-binar, "MAUUUU!!!"

-
-

Gempa tuh kembar terakhir, walaupun begitu dia punya watak yang lebih dewasa dari dua kakak kembarnya. Itulah yang kadang bikin Taufan bingung, apa jangan-jangan dokternya pas itu salah ngomong urutan atau emang udah dari sananya?

Tapi di beberapa waktu, Gempa bisa jadi anak terakhir yang dibilang manja dan masih butuh kakaknya. Suka curhat pakai muka julid atau peluk Taufan dari dibelakang setiap bangun tidur. Kalau sama Hali sekali dua kali aja, nggak berani katanya, serem. 

Sama kayak sekarang.

Di meja makan, Gempa kunyah kukisnya dari toples yang dia peluk erat-erat. Seakan-akan bakal ada yang curi cemilan kesayangannya. Mukanya masam lagi mengingat kejadian sekolah pas ujian. Dia panggil Taufan yang nunduk depan oven.

"Kak."

"Iyaaaa?????" jawab Taufan yang masih sibuk merhatiin kukis. Mukanya mulai terasa panas sebenarnya, tapi lihat kukis mau matang itu satisfying— katanya.

Gempa ngambek, "Kakak nggak mau nanyain kabar Gempa pas ujian tadi gimana?" nadanya merajuk, Taufan langsung balik badan. Dari suaranya kelihatan banget kalau Gempa lagi badmood.

Taufan duduk di depan adiknya, terus majuin poisisinya dikit, "Gimana tadi? Bisa? Lancar nggak?" tanyanya sambil menunggu curhatan Gempa.

"Agak lancar, tapi," Gempa menghela napas, "Tadi banyak banget yang nyontek. Hari ini kan ujian tahfidz tertulis tuh, disuruh nulis surat Al-mutaffifin enam ayat bagian tengah-tengahnya."

"Gempa tau kan gimana bunyi ayatnya, tapi mendadak lupa sama tulisannya, terus.."

Taufan masih nyimak.

"Eh awalnya kan gini Kak. Tau kan ya kalau ruangan ujian itu diisi sama beberapa murid masing-masing dari tiga kelas? Nah yang nyontek itu anak kelas lain, Gempa nggak tau itu siapa. Duduknya di depan Gempa. Ternyata dia buka gugel buat lihat bacaan ayatnya di laci."

Taufan langsung mengernyit. Parah, bawa hape diam-diam dalam ruang ujian.

"Terus pas pengawas izin keluar ke toilet, dia malah nyebar jawabannya ke anak yang satu kelas sama dia."

"Dia jalan-jalan keliling kelas terus kasih nampak kertas jawabannya."

"Habis itu kan, pengawasnya masuk tuh, tapi dia kayak beruntung banget udah selesai nyebarin jawabannya. Jadi kayak pengawasnya masuk pas dia udah duduk rapi."

"Dah. Gitu aja. Nyebelin banget kan Kak?"

Taufan masih diam sambil senyum maklum, biarkan Gempa keluarin rasa kesalnya dulu. Jarang-jarang lihat dia kayak gini. Lagi pula, Gempa itu tipe-tipe orang kalau curhat gini jarang minta respon dari yang mendengarkan. Kecuali kalau curhatnya serius.

"Gempa agak kesal tadi, tapi sekarang nggak lagi." Gempa menambahkan, "karena kalau dipikirin terus malah nggak guna. Semoga aja dia dapat kesadaran supaya jauh dari kelakuan nggak baik dan kalau gitu ilmunya nggak berkah."

Gempa emang sedewasa itu. Senyum Taufan makin melebar, bangga sama adeknya. Dia elus kepala adeknya, "Keren, yang penting kamu nggak kayak mereka dan jawab pakai usaha belajar kamu. Adek baikk."

Gempa senyum-senyum, "Makasih Kak, udah dengerin curhatan Gempa." ucapnya sambil megang tangan Taufan yang masih elus kepalanya.

Bersamaan dengan itu, oven kembali mengeluarkan suara nyaring.

"Biar Gempa aja yang amb—"

"Nggak usah, kakak aja. Kamu duduk anteng."

Cerita Biasa (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang