sabar

209 24 5
                                    

Gempa memasuki kelas dengan mata setengah terbuka. Ini masih jam enam lewat, maklum kalau masih ngantuk. Niatnya setelah menaruh tas dan merapikan meja juga kursi, dia pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat dhuha.

Namun niatnya gagal dilaksanakan karena rasa kantuknya menyerang kesadaran Gempa, hingga akhirnya dia pun duduk dan tidur dengan kepala yang tenggelam dalam lipatan kedua tangan di atas meja.

Demi Allah, Gempa merasa kantung matanya semakin melebar juga menghitam. Tugas geografi dan hapalan tahfiz membuatnya kewalahan setengah mati. Dia menghabiskan malam hanya untuk kedua mapel itu. Bisa-bisanya dia lupa dengan tugasnya, tumben, apa karena akhir-akhir ini dia disibukkan dengan lomba, ya?

Seharusnya sih pagi ini kembali menghapal surat, tapi biarin aja deh, Gempa juga ingin merasakan nilai rendah selama sebelas tahun bersekolah.

Tapi tidur Gempa diganggu sama salah satu temannya yang tiba-tiba mendumel sambil menaruh tas dengan kasar. Itu teman sebangkunya, Blaze. Dia melirik malas, mendapati Blaze yang menatapnya balik dengan ekspresi kesal.

"Bangsat, Gem. Tau nggak sih? Saudara-saudara ayahku nggak ada yang bener, anjir," Blaze menjambak rambutnya sendiri menahan emosi, "bangsattt babi-babi gak guna."

Gempa melotot kemudian memukul pelan pundak temannya, "Mulutmu dijaga," tegurnya setengah marah, "enggak boleh ngomongin keluarga ayahmu kayak gitu, sekesal apapun itu, Blaze."

"TAPI TETEP AJA!"

Gempa kicep karena suara Blaze yang meninggi.

"Selama mereka ada di rumah, mereka nggak sopan sama sekali. SAMA SEKALI," emosi Blaze mulai meledak-ledak, "Masa iya mereka ngomongin teh buatan bunda nggak enak padahal seenak itu— SEENAK ITU??? Terus bukannya bilang makasih malah dighibahin anj— terus ya, TERUS NIH, harusnya mereka tuh sadar diri kalau numpang di rumah ayahku yang UDAH PUNYA KELUARGA SENDIRI. Ini malah seenaknya, bantuin bersih-bersih aja kagak. AIHHHHHHH."

Gempa ngangguk aja sambil nyimak, takut kena marah. Blaze kalau marah emang seseram itu, gais. Fyi, Ais pernah dilempar botol taperwer yang muahal betul karena motong pembicaraan Blaze. Tambahan info lainnya, Blaze anak orang kaya. Jadi ngelempar taperwer satu aja mah nggak kena marah.

Karena kaya itulah, saudara ayahnya tuh sering nginep di rumah dia, dimanfaatin. Kalau Gempa digituin sih bakal kesel juga. Mengganggu kenyamanan keluarga aja.

Melihat Blaze yang masih misuh, Gempa memanggil namanya pelan karena takut, "Blaze... mau wudhu nggak? Redain emosi? Inget Blaze, Allah suka sama orang-orang penyabar."

Blaze diam seketika. Termenung sebentar, lalu mengangguk, "Astaghfirullah ya Allah," gumamnya lalu mengelus dada. "Yaudah ayo deh, sekalian dhuha."

Gempa tersenyum, "Nah, gitu dong, ayok!"






-

Kenapa ceritanya makin kesini makin kesana? Tapi yaudah lah

Cerita Biasa (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang