BAGIAN 32 Dipukul mundur oleh takdir

14 3 0
                                    

Happy Reading

Malam itu, entah mengapa hujan tiba-tiba saja turun dengan snagat derasnya. Atau mungkin Sabit yang tidak menyadari bahwa awan gelap telah datang ketika ia duduk sendirian di kursi yang berada di balkon.

Dan kini, dua orang yang tadinya sempat berpelukkan malah duduk berjauhan bak musuh bebuyutan. Sabit yang duduk diujung sofa dan Gina yang juga duduk di ujung sofa—menyisakan jarak yang cukup lebar di antara kedua gadis itu. Keduanya kini tengah berdiam diri dan hanya bertemankan  suara gemuruh hujan dan beberapa geluduk yang terdengar.

Setelah mendengar apa yang Gina sampaikan kepadanya—Sabit berusaha mencernanya. Separuh dirinya masih belum memahami akan situasi rumit yang tengah dia hadapi. Terdengar helaan napas yang kompak dari keduanya—sontak membuat dua orang yang duduk bersisihan itu saling menatap dan mendengkus geli.

"Sekarang lo mau gimana, Bit?" kalimat itu terlontar dengan sangat pelan dari mulut Gina.

Sabit menghela napasnya berat sebelum menjawab pertanyaan dari Gina. Dia sendiri saja tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Jauhi Langit, Bit," ucap Gina lagi membuat Sabit hanya mampu menatap kosong Televisi yang padam di depannya, dengan pelupuk mata yang sudah hampir dipenuhi dengan genangan air mata.

"Gue lagi yang harus kehilangan, nih? keluhnya pelan namun mampu menusuk hingga ke gendang telinga Gina. Gina paham betul apa yang sedang dirasakan oleh gadis itu.

"Tapi yang kali ini bukan milik lo, Bit," sahut Gina berusaha mengontrol nada bicaranya agar Sabit tak salah paham dengan menganggap Gina berada di pihak Almyra.

Sabit tertawa sumbang. Yah, benar apa yang Gina katakan. Kehilangan yang kali ini bukanlah miliknya. Namun kehilangan yang kali ini, sama sakitnya dengan kehilangannya yang lain.

"Ikhlasin," Ujar Gina lagi berusaha memberitahu Sabit agar gadis itu lebih lapang dada menerima segala kesedihan yang ada tengah dia rasakan malam ini. Bahkan sepertinya hujan yang sedang turun pada malam ini juga turut merayakan betapa mendungnya suasana hati gadis yang duduk di atas sofa dengan kedua kakinya yang ia naikkan ke atas sofa juga.

"Ikhlasin sesuatu yang bahkan belum gue genggam?" lagi, Sabit seolah memiliki banyak jawaban untuk menyangkal semua yang Gina ucapkan.

"Iya." Sambut Gina tegas.

Sabit menolehkan kepalanya ke kanan. Hanya untuk melihat eksistensi Gina disana.  Dimana Gina juga membalas tatapan mata milik Sabit. "Lepasin," Lagi, Gina kembali menyuruh Sabit untuk meninggalkan sesuatu yang bukan haknya.

Mata itu berkaca-kaca menatap Gina. Mata itu seolah menyorotkan kepedihan dalam diri gadis itu. mata itu... seolah memberitahu Gina bahwa ia tidak akan mungkin sanggup menjalani semua kepediahan yang akan datang di depan sana. Sabit terlalu rapuh untuk menjalaninya lagi. Sabit rasa—ia sudah tidak sanggup lagi.

"Gue tahu lo orang yang kuat, Bit. Dan gue tahu lo bukan orang yang jahat dengan merebut kebahagiaan milik orang lain."

"Gimana kalau ternyata Langit bisa jadi milik gue?" Mata itu penuh pengharapan. Seolah meminta Gina membantunya dengan mengatakan iya.

Namun gelengan kepala dan tatapan mata yang lurus menatap matanya membuat Sabit juga turut menggelengkan kepalanya sembari menitihkan air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata.

"Gue gak bisa, Gin. Gue udah terlanjur sayang sama dia." Rintihnya.

"Lo bisa! Kita jalani ini sama-sama. Lo bisa, Sabit. Lo bisa jauhi dia dan hidup tanpa di—"

"Hidup gue yang semula abu-abu jadi lebih berwarna karena kehadiran dia, Gin!" sentak gadis itu menyela.

"Gue yang gak punya semangat hidup akhirnya memiliki itu—karena dia! Lo gatau apa-apa, Gin," Ucapnya kian menusuk di telinga dan di hati Gina. Ketika Gina yang selalu menemani gadis itu malah dicap sebagai orang yang tidak tahu apa-apa.

LANGIT SABITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang