Aku berkali-kali menghela napas. Sudah lima hari aku selalu buru-buru melihat ke jendela apabila mendengar suara motor atau mobil mendekat. Dan setiap kali ada orang yang datang mencari orangtuaku, diam-diam aku mengintip tersebut.
Aku sudah bisa berkeliaran di sekitar rumah, dan ikut Papa atau Mama ke peternakan. Meskipun yang aku lakukan di peternakan sebetulnya hanya bermain-main saja karena aku masih beralasan kalau kaki dan tanganku masih sakit.
Aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar ada suara motor lain kembali datang. Buru-buru aku melihat jadi jendela kamarku. Lagi-lagi aku menghela napas ketika yang datang bukan orang aku cari.
"Hish! Giliran dicari nggak muncul. Kalau nggak diharepin muncul sembarangan!" gerutuku sembari menutup kembali jendela kayu kamarku.
Mataku kemudian menatap amplop putih yang di dalamnya sudah aku isi beberapa lembar uang tunai yang minggu kemarin aku dapat dari Papa.
Aku berdecak pelan saat teringat apa yang sudah aku katakan pada Ayash minggu kemarin. Aku sadar, aku tidak boleh berkata seperti itu. Aku tahu, aku sudah kasar, tapi kemarin aku seperti mendoakan Ayash untuk...
"Ah!" Aku memukul kepalaku pelan.
Aku menyesal sekali. Mungkin Ayash sudah tidak tahan dengan mulut jahatku serta kata-kataku yang memang kasar sekali padanya. Tanpa ampun aku selalu merendahkannya. Padahal dia tidak sekali pun membalasku. Bahkan saat aku meledakan amarahku padanya pun dia terlihat baik-baik saja.
Dan sekarang saat aku mencarinya, dia tiba-tiba tidak pernah muncul, seakan dia memang menghilang dari pandanganku.
Aku mencoba mencuci otakku dengan mencari pembenaran untuk kekasaranku minggu lalu. Aku ingin dimaklumi karena aku kesal dan marah perihal kedatangan Ayash dan orangtuanya untuk tembungan. Apalagi ketika orang-orang di bawah membicarakan tentang tembungan atau apalah itu, karakter utama perempuan malah di kamar dan tidak diajak bicara! Aku tahu sih, itu hanya akal-akalan orangtuaku saja agar aku tidak membuat keributan, apalagi ada orangtua Ayash di hari itu.
Tapi kata-kata yang aku ucapkan pada Ayash setelah dia menjelaskan tentang apa saja yang dibahas para orangtua, sungguh sulit untuk aku lupakan. Kata-kata kasarku seperti senjata makan tuan yang berbalik menghantuiku, dan membuatku tidak tenang sehingga dihantui rasa bersalah.
Ya... Mungkin karena aku ini juga manusia, meskipun mulutku jahat. Aku sebetulnya masih punya hati dan bisa menyadari tindakan yang aku lakukan sering kali di luar batas, berlebihan, dan impulsive.
Jam menunjukkan pukul setengah lima sore. Mama tadi pagi berpesan untuk menyirami tanamannya di sore hari. Karena matahari sudah tidak terik, aku akhirnya turun bawah untuk menyirami tanaman Mama.
Saat menyiram tanaman mataku berulang kali tanpa aku sadari menatap ke arah jalan. Berharap orang sedang aku cari paling tidak lewat di sana, dan aku sudah siap untuk berteriak dengan lantang agar dia berhenti.
Hingga selesai menyirami semua tanaman Mama dari belakang, samping, hingga depan rumah, aku tidak juga melihat Ayash lewat.
"Ya udah lah biarin aja. Emang dia siapa gue tunggu-tunggu?!" Aku bergumam sendiri sambil melepas sandal.
Langkahku terhenti di rak sepatu di depan rumah. Bahuku sedikit melemas disertai helaan napas panjang. Aku melihat sandal clog hitam milik Ayash di sana. Aku meraihnya dan mengamati sandal berukuran besar tersebut.
"Padahal dia sering ke sini, kenapa nggak diambil coba?!"
Aku malah menyalahkan Ayash, padahal aku sendiri yang lupa mengembalikannya sejak dari rumah sakit. Di samping sandal clog milik Ayash, ada sandal jepit yang dulu aku kenakan di rumah sakit sewaktu menunggu Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clumsy Sisi
RomanceMama bilang kalau menantu idamannya itu harus PNS. Kalau usaha peternakan yang diwariskan oleh orangtuaku bangkrut, paling tidak masih ada suami yang punya penghasilan tetap dan stabil. Dan Ayash adalah nama laki-laki pilihan orangtuaku. Katanya, Ay...