Zombie

9 2 0
                                    

"Aku kira, dunia tak akan pernah seperti ini."

Satu jam yang lalu, shelter anti-zombie tempatnya berlindung sebelumnya telah ditembus. Ia kehilangan teman-temannya di sana. Ia selamat karena melarikan diri, tak mau melihat teman-temannya kehilangan sisi manusianya dengan berubah menjadi zombie.

Di tempat ia berlindung sekarang, di balik tembok rumah yang ia sandari itu, terdengar geraman-geraman para zombie. Ia menutup mulutnya rapat, nafasnya terengah karena melarikan diri dari shelter. Rambut kuningnya lepek karena keringat. Dalam hati, ia benar-benar berharap ada seseorang yang datang membantunya.

Dor dor dor dor dor dor

Di tengah kepanikan itu, ia mendengar suara peluru ditembakkan. Ia beranikan diri menoleh ke belakang, mendapati seorang laki-laki berdiri terengah sambil memegang sebuah pistol. Di depannya, ada enam tubuh zombie terkapar.

Lututnya melemas, lega. Sepertinya malam ini bulan berpihak padanya. Sang laki-laki menghampiri. "Kamu gak papa? Apa bisa bangun, Nona?" Tanyanya.

"Bisa," jawab sang gadis meyakinkan diri.

Gadis itu mencoba berdiri, tetapi nihil. Rasa takut sebelumnya yang sekarang bercampur dengan lega membuat kakinya lemas. Ia mati rasa. "Maaf, mungkin saat ini tidak bisa," kata si gadis.

Laki-laki itu terkekeh. "Wajar saja sih," katanya lalu mengulurkan tangannya menawarkan bantuan. Sang gadis menerima uluran tangannya, ia menjadikan itu tumpuan untuk berdiri. Laki-laki itu pun akhirnya menuntunnya.

"Kamu dari mana? Er..." Laki-laki itu menggantung kalimatnya.

"Kuroneko," jawab si gadis.

"Kamu dari mana, Kuroneko-san?" Tanya laki-laki itu.

Kuroneko yang mulai merasakan kakinya melepaskan sedikit genggamannya pada tangan laki-laki itu, tumpuannya.

"Shelter 35,"jawabnya.

"Shelter yang baru ditembus itu?" Tanya lelaki itu hati-hati. Ia sekarang merubah fokus pandangannya pada langit, dilihatnya bulan purnama yang sangat terang seakan sedang menertawakan penduduk bumi saat ini.

"Ya, karena itu aku pergi, meninggalkan teman-temanku di sana," Kuroneko bercerita dengan nada bersalah. "Aku melarikan diri karena tak ingin melihat mereka menjadi monster," lanjutnya.

Kuroneko melihat bulan sekilas lalu mengepalkan tangannya, ia melanjutkan cerita, "Aku tak bisa berpikir saat itu. Aku kaget sekali saat orang-orang berlarian, para tentara panik dan zombie-zombie itu masuk." Kuroneko menatap tangannya yang terkepal kuat, raut wajahnya benar-benar menunjukkan penyesalan. "Padahal, aku bisa saja melindungi beberapa teman-temanku dengan kendoku," lanjutnya.

"Sekarang bagaimana kalau kita berjuang bersama, Kuroneko-san?" Kata laki-laki itu yang tentunya membuat Kuroneko kaget. Ia menatap laki-laki itu seperti meminta penjelasan.

"Kamu tahu? Di shelter itu juga orang-orang di reguku mati. Reguku adalah tentara yang menjaga di sana, maaf kalau kami tak menjalani tugas kami dengan benar dan membiarkan teman-temanmu mati, Kuroneko-san," Katanya. Kuroneko menggeleng tidak membenarkan perkataan pemuda di depannya itu.

"Mereka menyuruhku pergi agar bisa menyelamatkan orang lain," Laki-laki itu lanjut bercerita. Ia menarik napas sebentar, "Lalu mereka semua mati saat mencoba melindungi shelter itu."

Laki-laki itu tiba-tiba menghentikan langkahnya, ia berbalik penuh menatap Kuroneko dan tersenyum. "Pesan mereka untuk melindungi orang lain, mungkin mulai sekarang aku akan melindungimu." Kata laki-laki itu dengan wajah yang teduh, tapi Kuroneko tahu ia sedang mencoba untuk teguh.

"Aku Amatsuki, mohon kerjasamanya, Kuroneko-san," katanya sambil mengulurkan tangannya.

"Ya, tapi tolong biarkan juga aku membantu." Kuroneko lalu menyambut tangan Amatsuki.

Akad ini terjadi dengan bulan sebagai saksi, di tempat krisis di tengah kehancuran dunia, Biarkan bulan ikut menyaksikan perjalanan mereka selanjutnya.

“Ada Markas Pelatihan Tentara di sekitar sini,” kata Amatsuki sesaat ia melihat sisa sisa dari plang yang masih berada di sana. “Seharusnya keamanan di sana bagus, jadi tak bisa ditembus,” lanjutnya.

“Depan sana, Tsukki!” Kuroneko menunjuk segerombolan Zombie di ujung jalan.

Amatsuki menghela napas, ia menghitung jumlah zombie yang ada. “Delapan. Peluruku di pistol ini tinggal dua, di pistol yang ini tiga,” katanya sambil mengeluarkan pistol lainnya dari sakunya lalu menatap Kuroneko, “Tiga lainnya kau bisa, Kuro-chan?” Tanyanya.

“Selama melarikan diri dari shelter, aku tak pernah berpikir untuk menggunakan kemampuan kendoku, tapi mungkin sekarang akan kucoba. Bisa,” jawabnya yakin.

Amatsuki tersenyum, “Kalau begitu kuserahkan yang tiga padamu. Gunakanlah apapun yang bisa kau gunakan, Kuro-chan,” katanya lalu pergi.

Kuroneko mengambil salah satu plang bertanda dilarang parkir lalu ikut berjalan menyusul Amatsuki.
“Jadi begini wujud Markas Pelatihan Tentara,” kagum Kuroneko saat melihat sekeliling.

“Kau kesini mau ambil senjata, Tsukki?” Tanya Kuroneko.

“Ya, itu juga. Aku mau latihan menembak,” jawab Amatsuki.

Dalam waktu yang singkat, Amatsuki mengajari Kuroneko cara menggunakan pistol, dan kini, sebuah pistol ada di tangannya.

Waktu yang sangat singkat mereka habiskan, sedikit kebersamaan dan canda manis di dunia yang sedang hancur ini. Bermimpi bersama untuk masih bisa hidup damai, menemukan dunia yang tenang. Mungkin mereka harus pergi sampai ke ujung dunia untuk menemukan damai yang seperti itu.

“Kuro-chan, pelurumu?” tanya Amatsuki. Ia juga mengeluarkan pelurunya dan menghitungnya. “Aku dua,” katanya.

“Dua juga,” jawab Kuroneko. Matanya jelas menunjukkan rasa khawatir dan takut akan situasi saat ini.

“Ini kayak dikepung,” kata Amatsuki. Ia lalu menatap kawanan zombie di depannya pasrah. “Mereka lebih dari 10.”

Amatsuki memantapkan dirinya lalu menatap Kuroneko, “aku masih punya bom dari markas pelatihan tentara waktu itu. Kuro-chan lari. Aku akan buka jalan dengan empat peluru sisa kita, lalu kau bisa lanjut dengan kendomu itu,” perintah Amatsuki panjang. “Oiya bawa ini, nanti kalau ada markas pelatihan lagi, gunakan ini sebagai tanda pengenal untuk masuk,” Amatsuki memberikan pass card miliknya.

“Terus kamunya?” Tanya Kuroneko. Ia sebenarnya paham apa maksud Amatsuki.

Amatsuki hanya tersenyum dengan senyum yang sudah jelas dipaksakan. “Aku yang akan membuat bom ini aktif, Kuro-chan,” katanya.

“Pergilah, Kuro-chan,” perintahnya.

Kuroneko mengangguk, ia lalu berbalik badan dan pergi, sambil menangis ia berlari di antara para zombie itu dengan bantuan Amatsuki yang dari belakangnya menembak beberapa zombie. Dan setelahnya ia menebas zombie-zombie yang menghalangi jalannya.

Kuroneko benar-benar tak berani menoleh ke belakang, ia tak mau melihat kondisi Amatsuki. Kali ini lagi-lagi ia melarikan diri.

Setelah berjalan jauh dan gerombolan zombie itu sudah berhasil ia lewati, benar saja ia mendengar suara ledakan. Air matanya benar-benar keluar sekarang.

Amatsuki pergi dari dunia ini karena dirinya. Karena itu juga, ia bertekad untuk terus hidup. Ia tak mau nyawa Amatsuki terbuang sia-sia.

Amatsuki Kuroneko ShortsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang