18. Ngemall seperti keluarga

24 7 0
                                    

Selamat Membaca

Selesai menonton bioskop, masih ada waktu sebelum pulang. Mereka keluar dari tempat itu masih jam sembilan. Enggar mengajaknya berbelanja ke Mall terkenal di kota Bandung milik keluarganya.

Sampai di lantai kumpulan baju-baju mahal dengan Fashion yang pernah dikenakan artis dan aktor juga. Nah, Enggar mengajaknya ke sini.

Apa lagi ini? Batin Sara merasa tak nyaman.

“Silakan pilih, kamu mau baju yang mana,” ucap lelaki itu yang berdiri di samping Sara. Sementara Galen sudah duduk manis di sofa tunggu yang  kini kembali membaca buku.

“Baju mewah? Aku sama sekali tak berniat memerasmu,” tolak Sara secara halus membuat Enggar menggeleng kagum.

“Kau sama sekali berbeda dengan Praya yang ku kenal.” Jari telunjuknya mendorong pelan jidat lebar milik Sara.

“Pilihlah yang menurutmu cocok, soalnya tiga hari lagi ulang tahun Galen,” bisik lelaki itu di indra pendengaran Sara.

“Bukannya hari ini seharusnya mencari hadiah untuk Galen?” tanya Sara penuh tanda tanya. Mengalihkan topik sekaligus berniat ingin segera keluar dari tempat ini.

“Masalah itu nanti saja,” lanjut lelaki itu membisiki Sara dan pergi duduk di samping Galen.

Sara kebingungan saat melihat kumpulan baju-baju yang ia lihat. Semuanya bagus, tetapi modelnya ada yang ia suka dan juga ada yang tidak ia suka. Perlahan kakinya melangkah dan tangannya mencari-cari yang sesuai dengan selera dirinya.

Sedikit berkeliling dan ia menemukan satu dres cantik. Lengan panjang tanpa kerah dan bawahannya sampai hingga pergelangan kaki. Warna bajunya coksu dengan motif bunga-bunga berwarna cokelat yang cantik.

Pelayan wanita menunggunya di depan ruang ganti dan Sara memberikannya pada pelayan itu.

“Mau langsung dibungkus atau mau mencoba dulu?” tanya pelayan itu dengan sopan.

“Langsung di bungkus saja, ya,” ucap gadis itu tersenyum.

“Di tunggu ya.” Pelayan itu tersenyum dan segera bersiap membungkus pesanannya.

“Hanya satu saja?” tanya Enggar dengan wajah protes.
Ya Tuhan, andai orang seperti Enggar ada di real life. Bisa ngubah pandangan gue yang awalnya kagak mau nikah jadi mau nikah kalo kayak gini, batin Sara yang kini duduk di hadapan Enggar.

“Iya, kenapa?” tanya Sara singkat. Namun, ia belum mendapat jawaban. Malah lelaki itu bangkit dari sofa dan berkeliling mencari beberapa baju. Entah untuk dirinya atau apa, Sara tidak tahu. Gadis itu memilih duduk di samping Galen saja. Benar, gadis itu pindah tempat duduk.

Matanya menatap dengan jeli hingga empat puluh lima menit berlalu, Enggar kembali dari kumpulan baju-baju yang tergantung. Ia membawa enam macam dres dengan model yang tidak aneh-aneh. Ada yang polos dan bermotif tidak terlalu ramai. Warnanya juga cenderung soft dan gelap.

Baju perempuan? Batin Sara ketika matanya menangkap Enggar keluar dari arah selatan dan menuju ke kasir.

Saat kembali duduk di sofa, Sara pun mewawancarainya.

“Itu baju untuk siapa?” tanya Sara tidak tahu.

“Buat kamu,” ucap lelaki itu singkat. Tangannya merapikan bajunya yang terasa tak nyaman.

“Sebanyak itu? Pestanya kan hanya beberapa jam saja,” ucap Sara merasa tak nyaman.

“Katanya siapa beberapa jam saja? Pestanya itu tiga hari tiga malam,” jelas lelaki itu serius.

“Hah? Serius?” Tanya Sara melotot tak percaya.

“Iya, kamu punya tujuh pasang dres dan semuanya sesuai seleramu. Tinggal kamu kenakan selama acara berlangsung,” kata lelaki itu serius menghabiskan uangnya untuk Sara seorang.

Gadis itu terdiam dan beberapa detik datanglah seorang pelayan membawakan dua kantong besar dan baju-baju itu sudah ada di dalam semuanya.

“Ini, Tuan.” Pelayan itu memberikannya pada Enggar.

“Terima kasih.” Lelaki itu mengambilnya dan memberikan black card miliknya. Menunggu sebentar, kartu itu sudah kembali di tangannya. Lalu mereka keluar dari Mall karena sudah tak ada yang mau di beli lagi.

•••

“Kak Enggar,” panggil bocah itu yang kini ada di genggaman pria itu. Benar, di gendong di pangkuannya.

“Kenapa?” tanya lelaki itu yang melangkah santai beriringan dengan Sara.

“Turunkan Galen, Galen mau di gendong sama kak Praya,” pinta anak itu dengan penuh harap.

Membuat Enggar dan Sara berhenti sejenak. Barang belanjaan itu kini beralih kepada Enggar. Sementara Galen sudah di gendong oleh Sara. Saat langkahnya sampai di depan lift, Enggar terhenti. Tingkahnya mampu membuat orang sekitar memperhatikan mereka.

Orang-orang yang mengenalnya langsung memotret mereka dengan ponsel masing-masing. Sementara yang tak mengenalnya hanya plonga-plongo tak paham dengan kehebohan orang-orang.

“Ada apa lagi?” tanya Sara memastikan. Dan dirinya merasa tak nyaman dengan reaksi orang-orang.

“Lupa, aku lupa membeli sepatumu,” ucap lelaki itu merasa bersalah.

“Tidak perlu, aku banyak sepatu dan tak suka yang berhak tinggi dan tipis,” ucap Sara menolaknya. Kini mereka masih menunggu pintu lift yang belum terbuka. Sementara orang-orang yang tau mereka sudah mendekat dan semakin mendekat seperti orang berkerumun.

Padahal mereka bukan manusia yang bekerja di layar lebar. Kenapa mereka sampai seperti kumpulan fans begini, Sara tak habis pikir. Apalagi orang-orang yang ia lihat sekarang kebanyakan perempuan. Mungkin, mereka sangat menyukai wajah tampan Enggar.

“T-tapi kan–“ ucapan Enggar terhenti karena Sara menariknya masuk ke dalam  lift  yang sudah terbuka. Dan mereka tersenyum lebar sebelum pintu itu perlahan tertutup hingga menutup dengan sempurna.

Gadis itu bernapas lega karena telah berhasil menghindar dari mereka.

“Oh ya, aku heran. Tempat baju-baju mewah tadi kenapa sepi sekali? Dan di luar rame sekali?” tanya Sara penasaran.

“Karena itu tempatnya orang-orang kaya saja kak,” sahut Galen masuk ke dalam pembicaraan.

“Itu sudah di jawab sama Galen,” imbuh Enggar yang berdiri di samping gadis itu.

Sara mengangguk paham dan sebentar lagi ia akan pulang.

•••

Gadis itu pulang di antar oleh Enggar dan ia mengambil barang belanjaannya. Sebelum masuk ke dalam rumah, ia menunggu mobil Enggar melaju meninggalkan rumahnya. Setelah itu Sara masuk ke dalam rumah.

Saat membuka pintu, gadis itu langsung mendapatkan pelukan hangat dari kakaknya dan matanya melihat Darren sudah duduk di sana.

“Kamu gimana? Tidak apa-apa, kan?” Cashel menangkup wajah adiknya dengan raut wajah penuh kecemasan.

“Kamu dari mana saja?” tanya Darren yang duduk santai sambil memakan kacang rebus. Kulitnya sembarangan di buang dan ia duduk selonjoran layaknya rumah sendiri.

“Aku tak apa-apa, kak,” ucap gadis itu yang sudah merasa tak nyaman dengan tingkah kakaknya.

“Syukurlah kalo gitu,” Cashel pun kembali duduk di sofa muat satu orang yang berhadapan dengan sofa panjang tempat Darren berselonjoran.

“Itu apa?” tanya Darren menunjuk kantong belanja yang dibawa sahabatnya. Ia tak masalah jika pertanyaannya belum di jawab.

“Aku habis mempersiapkan acara ulang tahun Galen dan ini dres yang dibelikan sama Enggar,” jelas gadis itu lalu masuk ke dalam kamarnya.

“Sebentar, Darren.” Cashel bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah teman bicaranya. Ia duduk di sampingnya sementara Darren masih tetap duduk selonjoran.

“Baru kali ini Praya dibeliin sesuatu sama Enggar dan adek gue itu udah dari dulu mengharapkan hal itu. Terus Enggar tak mau sepeser pun mengeluarkan duitnya untuk membelikan Praya sesuatu dan hal itu ngubah pemikiran adek gue. Jadi adek gue yang selalu membelikan Enggar barang, entah itu barang apa aja. Terus dulu Enggar gak mau deket-deket ama adek gue sehingga adek gue mutusin buat jadi BA di perusahaan Enggar. Tapi nyatanya sekarang dia terus nempel-nempel sama adek gue,” jelas Cashel merasa kebingungan dengan kejadian hari ini. Apalagi lelaki itu belum bisa memaafkan tindakan Enggar dulu.

“Terus?” tanya Darren yang sedari tadi menjadi seorang pendengar. Ia tetap mendengarkan meskipun mulutnya mengunyah kacang. Lelaki itu memilih diam menyembunyikan fakta.

“Emang kamu gak curiga sama sahabat kamu sendiri?” tanya Cashel penasaran.

“Gak tuh, gue biasa aja.” Darren mengubah posisi duduknya dengan benar membuat sofa panjang itu menjadi lebih lega dan leluasa.

“Siapa tau kan, Enggar udah luluh sama Praya. Kita gak tau isi hati seseorang kan, jadi jangan dipikirkan terlalu keras,” ujar Darren berusaha berpikir positif.

“Bener juga kamu,” kata Cashel menyahut. “Tapi aku masih kesal dengan perlakuannya dulu sama Praya,” lanjut ia mengungkapkan isi hatinya.

“Aku tahu, sejujurnya Darren juga kesal setengah mati, kak. Tapi coba ayo buka hati kita,” kata Darren berpendapat membuat Cashel mengangguk dan tersenyum setuju.

Ketulusan Si Penguntit (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang