31. Tawar menawar

22 4 0
                                    

Selamat membaca


Kini gadis itu selesai membersihkan tubuhnya dibantu tiga pelayan wanita di rumah Darren. Kondisi fisiknya yang lemah karena racun dari mawar biru membuat Sara merasa risih sendiri.

Kebetulan hari ini hari minggu pagi, Darren libur dan bertugas nanti malam hingga esok sesuai jadwal. Kali ini gadis itu mengenakan sweter rajut berwarna putih dengan model longgar. Bawahannya rok bunga berwarna macha.

Terakhir, Sara hanya mengenakan produk pelembab kulit saja. Malas mengenakan riasan karena sudah tak bekerja.

“Mari Nona Praya, saatnya sarapan.” Gadis itu duduk di atas kursi roda dan duduk di didorong oleh seorang pelayan yang membawanya hingga sampai di meja makan.

Disana, matanya menangkap sosok Darren. Matanya melihat bibir lelaki itu sudah basah dan dihapus dengan tisu putih. Sepertinya ia sudah selesai sarapan. Tanpa di perintah, seorang pelayan yang membawa Sara pergi dengan sendirinya.

“Makan ya, Sara. Biar kamu gak mati,” ucap lelaki itu sembari memegangi sepiring menu sehat untuk orang sakit. Sementara tangan satunya, sibuk memindahkan kursi meja makan mendekati Sara.

Gadis itu membuka mulutnya lebar. Dengan otomatis tangan Darren menuntun sendok berisi nasi dan lauk pauk masuk ke dalam mulut Sara.

“Nah, bagus. Gitu dong,” lirih lelaki itu tersenyum bahagia.

Selesai makan, Darren yang mengambil alih kursi roda Sara dan membawanya kembali ke rumah kaca. Tanpa Sara sadari karena terbawa jauh oleh lamunannya. Gadis itu baru menyadarinya saat terkunci kembali di ruangan sebelah taman bunga mawar mematikan.

“Darren!” panggilnya histeris.

“Tenang disana dan jangan berusaha kabur sebelum aku membukanya,” teriak lelaki itu. Suaranya menggema semakin jauh.

“Wey! Darren, kau gila, ya!” bentak gadis itu.

Karena sudah kalah cepat dari lelaki itu. Sara bangkit perlahan dari kursi roda dan melangkah pelan menuju ke sofa. Setelah sampai ia duduk pelan-pelan dan mengubah posisinya, ia memilih berbaring disana.

•••

“Ini semua laporan dan hasil kerja dari Bu Maysa?” tanya lelaki itu kembali memastikan. Menatap laptopnya fokus.

“Iya, benar, Pak. Kebanyakan  dibidang elektronik,” jelas manajer bagian elektronik di perusahaan Arroza.

“Baik, terima kasih atas bantuan kamu,” sahut Enggar dengan terus memperhatikan layar laptopnya.

“Kalau begitu saya undur pamit, Pak. Jika ada yang bapak tanyakan, silakan hubungi saya.” Wanita itu pergi meninggalkan Enggar setelah lelaki itu mengangguk paham.

“Astaga, Bibi. Gara-gara posisi jadi begini. Padahal dibicarakan baik-baik sama mama pun pasti diberikan,” geram lelaki itu setelah sekian menit menatap layar laptopnya.

Kini kepalanya menyender di badan kursi, beristirahat sebentar. Setelah cukup mendingan rasa peningnya, lelaki itu meraih ponselnya. Dan mencoba menghubungi Sara tapi, tak kunjung ada jawaban.

Beralihlah ia menghubungi Darren. Dan sama saja, tak ada panggilan. Padahal hari pekan.

“Padahal minggu, apa dia sepadat itu kerjaannya di rumah sakit,” kata lelaki itu dan memilih mengirim pesan teks saja.

Kamu kapan ada waktu? Aku mau menjemput Sara.

Satu pesan terkirim. Lanjut Enggar mengatasi permasalahan kantornya. Sesibuk apa pun dirinya, ia masih memikirkan kondisi Sara bagaimana. Karena masalah pencarian Praya Anaya kembali trending hangat di publik. Apalagi sosoknya yang menghilang sekarang.

•••

Mereka bertemu di rumah Cashel dan baru saja Darren tiba langsung mendapatkan satu pukulan di wajah tampannya. Bekasnya memerah dan rasanya lumayan nyeri. Membuat korbannya meringis kesakitan.

“Kakak kenapa tiba-tiba menghajar Darren?” tanya lelaki itu seolah tak terjadi apa-apa.

“Tiba-tiba katamu,” ulang Cashel dengan tatapan menusuk.

Lanjut kedua tangannya memegangi kerah bajunya kuat.

“Apa maksud kamu di foto itu, foto pemotretan adikku hingga aku menyalahkan Enggar?” tanyanya dengan tatapan semakin menusuk tajam.

Darren tak ada takutnya, ia malah tersenyum miring sembari terkekeh kecil.

“Oh itu, itu. Karena aku menyukai adik kakak,” ungkap lelaki itu sembari tersenyum ramah.

Raut wajahnya mampu membuat hati Cashel Abian merasa gatal tak karuan. Hingga tangan kananya kembali mendarat di wajah Darren dengan tenaga lebih kasar lagi. Membuat sudut bibir korbannya mengeluarkan sedikit darah.

“Aisshh.” Darren meringis kesakitan. “Kakak percuma mau membahas Praya,” kata Darren yang tetap berdiri disana.

“Kenapa? Dia adikku dan laki-laki di dunia ini yang baik sama dia Cuma aku sama almarhum papa, dan kamu itu orang gak baik buat dia,” tuntut Cashel dengan urat-urat di wajah dan lehernya mulai menonjol.

Darren sama sekali tak menampakkan amarahnya. Lelaki itu malah duduk di sofa ruang tamu yang diikuti tuan rumah.

“Suruh siapa duduk? Gak ngejawab lagi?” desak cashel merasa kesal.

“Aku kan tamu terus kakak pernah bilang; anggaplah rumah sendiri,” seru Darren mengingatkan pada masa lalunya.

“Jangan banyak bicara, mau langsung saya kasih makan pasal atas penculikan orang?” tawar Cashel dengan raut wajahnya yang berubah menakutkan.

“Sabar dulu, ini Darren jelaskan,” gumam Darren.

“Sebetulnya yang di rumah Darren itu Madam Sara Pradya bukan Praya Anaya adik kak Cashel,” jelas lelaki itu dengan wajah serius saat mengungkap kebenarannya.

“Kamu memang mau saya tuntut ya.” Lawan bicara Darren sudah tak mampu membendung rasa kesalnya. Cashel sama sekali tak percaya apa yang dikatakan oleh Darren.

“Cepat katakan dimana adikku? Jangan bicara ngelantur kamu,” desak Cashel yang kini berdiri dan mendekat ke arah Darren. Wajahnya memerah marah karena habis mendengar sebuah lelucon.

“Oke, akan aku tunjukkan,” lelaki itu tersenyum lebar ditengah-tengah amarah Cashel yang memuncak. Begitulah Cashel, tipikal orang yang tak mau percaya jika tak menunjukkan bukti.

•••

Sampai di rumah kaca, Cashel mengikuti langkah sang pemilik rumah. Mata lelaki itu melirik ke mana-mana dan merasa sedikit cemas akan bunga itu. Tiba-tiba langkah Darren mengerem tepat di depan pintu bersayap dua itu. Tingkahnya tentu membuat manusia di belakangnya kebingungan.

Darren berbalik. “Kakak bilang lelaki yang baik sama Praya Cuma kakak sama almarhum papanya kakak? Kakak yakin?” katanya.

“Kamu masih mempertanyakannya lagi? Kan sudah saya bilang,” gumam Cashel penuh keyakinan. Amarahnya sudah berapi-api menumpuk di kepalanya. Sebentar lagi, mungkin akan meledak.

“Cepat, dimana adikku,” desak lelaki itu dan pandangannya mulai menatapi area lain. Ia merasa kesal ketika menatap wajah Darren.
“Kakak mengganggu saja.” Darren membawakan setangkai bunga mawar biru di dekat indra penciuman lawan bicaranya. 

“I-ini kan—“ suaranya makin samar dan matanya tertutup rapat tak sadarkan diri.
Untung saja Darren menangkapnya. Napas lelaki itu menjadi lebih tenang ketika berhasil menangkap tubuh Cashel.

“Hampir saja tumbang ke taman bungaku,” ungkap Darren merasa gelisah kalau sampai tamannya lecet.

Lelaki itu meletakan mawar biru yang masih segar di tangannya ke rak kayu. Kini ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyeret tubuh Cashel memasuki satu ruangan lagi. Meskipun ia susah payah, setidaknya Cashel sudah diam untuk beberapa hari ke depan.

Ketulusan Si Penguntit (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang