Selamat Membaca
"Legal? Mawar biru sudah dilegalkan?” ucapnya dengan wajah tercengang. Lelaki itu masih tak percaya. Ia tetap duduk di kursi mobil pengemudi dan belum menyalakan mesinnya.
“Padahal itu jelas-jelas racun,” gumamnya merasa kesal karena gagal melaporkan Ines dan Darren. Tak henti-hentinya lelaki itu mengumpat kata-kata kasar di dalam mobilnya sembari meninju setirnya. Hingga tulang jari jemarinya terasa nyilu, setelah cukup dengan melampiaskan kemarahannya. Ia berniat untuk segera pergi dari tempat tersebut.
“Sudahlah, aku pulang saja.” Lelaki itu menyalakan mesin mobilnya dan beberapa menit perjalanan singkat ia tiba di halaman rumahnya.
Disana ia melihat Ines sedang sibuk menyeret dua koper dan satu tas punggung di badannya. Bergegaslah lelaki itu keluar dari sana.
“Kamu mau ke mana?” tanya lelaki itu menghadang istrinya.
“Mau pulang,” balas Ines dengan tatapan datar.
“Gak boleh, kamu gak boleh pulang.” Lelaki itu bersikeras menghalangi istrinya dengan merebut salah satu koper milik istrinya.
“Mas Dayu, aku tak bisa lagi bersamamu kalau adikku dalam bahaya,” teriak Ines dengan kondisi degup jantungnya yang menggebu.
“Amankan dia dan jangan biarkan keluar dari rumah ini,” perintah wanita itu pada kelima pengawal yang menjaga di bagian gerbang.
“Ines Andor, kau juga memecatku? Kau mau ke mana dengan meninggalkan rumah sendiri? Mau pulang ke mana!” teriak lelaki itu yang diseret paksa oleh dua orang pengawal. Sementara sisanya tetap stay di gerbang.
“Kau mau mengasuh Darren bayi kecilmu itu, hah?” jerit Dayu yang kini batang hidungnya tak tampak lagi.
Ines pun bergegas ke parkiran rumah dan masuk ke dalam mobil dengan barang bawaannya. Sebelum menyalakan mesin, ia menempelkan ponselnya pada mobilnya dan menelepon adiknya.
Kau di rumah, kan?
Iya? Kenapa kak?
Kakak mau pulang ke rumah yang penuh kenangan itu. Apa kamu masih menerima kakak?
Tentu saja, rupanya masalah kakak sudah selesai dengan kak Dayu?
Iya sudah selesai.
Oke. Hati-hati di jalan, Kak.
Setelah panggilan berakhir, Ines menyalakan mesin mobil dan menunggu sebentar. Tangannya sibuk memutar musik di mobilnya. Setelah menemukan musik seleranya, ia pun menancap gas menuju ke rumah adiknya.
•••
“Siapa?” tanya Sara penasaran.
“Kak Ines, kenapa? Tertarik mengubah wajahmu?” tanya lelaki itu dengan tatapan menakutkan. Disambung dengan senyum miring yang mengembang.
“Gak, jangan sakiti dia, ya!” ancam sara penuh perhitungan meskipun dirinya juga dalam bahaya. Matanya melirik menuju ke arah Cashel yang masih setia menutup mata.
“Memangnya kamu siapanya Cashel?” tanya Darren tiba-tiba merasa kesal. Lelaki itu bangkit dari duduknya.
“Ya, jelas aku dianggap Praya meskipun nyatanya bukan,” tegas gadis itu berusaha membela.
“Terserah, aku keluar dulu. Malas berdebat denganmu.” Lelaki itu melangkah menjauhi dua manusia itu.
Seharusnya dia hanya boleh peduli padaku, batin Darren sembari menyusuri langkah untuk keluar menuju ke halaman rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketulusan Si Penguntit (Tamat)
FantasíaMadam Sara Paradya, mengalami kecelakaan hebat hingga ia terbangun sebagai orang lain. Gadis itu tidak merasakannya karena tubuh dan penampilannya masih tetap sama. Lambat laun dia menyadari hal itu karena sikap rekan kerjanya yang begitu menghormat...